21 Februari 2010

Uak Ammah

Uak Ammah meninggal dunia! sebuah telepon interlokal di hari minggu sesudah magrib yang membuat kami sekeluarga tercengang. Tepat sebulan setelah tsunami terjadi di bumi pangandaran.

Hanya bapak yang berangkat ke kampung karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan untuk kami sekeluarga pergi. Satu minggu bapak berada disana.

Begitu pulang ke Jakarta, berondongan pertanyaan tak kuasa kami tahan.

"Uak sakit apa? Meninggal dimana? Bagaimana kondisi jasadnya?"

Bapak lalu bercerita. Uak meninggal dunia seperti tidur, hingga dimandikan badannya masih hangat. Ketika dimandikan tidak ada kotoran yang keluar dari dua lubang furuznya. Sehari sebelum meninggal, Uak Ammah sudah menyiapkan kain kafan, membeli 30 liter beras dan lauk pauk dalam jumlah banyak. Seolah ia tahu besok akan datang banyak orang ke rumah. Seolah ia tidak ingin merepotkan orang yang ditinggalkan bahkan kain kafan pun ia siapkan sendiri. Uak meninggal ketika sedang shalat ashar, masih memakai mukena beralas sajadah.



Kami sekeluarga tercengang lagi, lebih dari ketika kami mendengar kabar Uak Marsim (suami Uak Ammah), meninggal seminggu yang lalu. Bagaimana mungkin? Karena jika dilihat Uak Ammah sangat berbeda dengan suaminya yang begitu rajin beribadah. Uak Ammah sepengetahuan kami hanya mengerjakan ibadah wajib saja hingga akhir hayat. Hampir tidak pernah mengerjakan ibadah sunnah, terlebih bangun malam untuk shalat tahajud. Apa yang membuat Uak Ammah berpulang dalam Khusnul Khotimah?

Kami baru ingat, rumah Uak merupakan transit yang menyenangkan. Siapa saja yang hendak bermalam di rumahnya karena kemalaman untuk pergi ke kota, diterima dengan senang hati.

"Bermalamlah di sini, anggap saja seperti di rumah sendiri." Dengan ikhlas ia melayani para tamu, memberi makan, tempat istirahat yang layak, pelayanan full smile, semua ia lakukan tanpa imbalan. Bahkan dengan orang yang tidak ia kenal pun tanpa prasangka ia ikhlas memberi tumpangan. Entah sudah berapa anak yatim dan orang susah lain yang sudah menumpang di rumahnya. Bahkan di antara mereka ada yang menumpang hingga hitungan tahun.

"Uak, kami belum bisa meneruskan perjalanan. Bekal sudah habis. Bolehkan kami tinggal di sini sementara waktu, sambil mencari nafkah untuk bekal ke perjalanan nanti?"

Pernah suatu kali seorang anak yatim meminta izin Uak Ammah untuk menumpang sementara di rumahnya. Uak tidak keberatan, tidak pernah meminta bayaran, dan selalu melayani mereka dengan baik.

Dahulu di kampung ini, pasat tempat orang ramai menjual keperluan rumah tangga hanya ada seminggu sekali. Sering ada pedagang kemalaman pulang dan dengan senang hati uak menampung. Bagi Uak, memberi adalah memberi. Kalaupun mengharapkan balasan, yang diharap hanya balasan dari Allah Subhanahu Wata'ala. Uak selalu senang untuk memberi makan siapa pun. Bahkan ketika ia sedang makan dan ada orang lewat, langsung saja ia ajak makan bersama.

Uak Ammah orang yang sederhana, begitu ikhlas dan bersahaja. Entah sudah berapa ratus ribu do'a kebaikan mengalir untuknya. Dari mereka yang diberi tumpangan, dibebaskan dari dingin dan lembabnya angin malam pinggir pantai, dibebaskan dari rasa lapar dengan sepiring nasi beras merah, hingga 85 tahun usianya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar