Segala yang di bawah langit pasti berubah. Hanya satu hal yang tetap
sepanjang masa, yaitu perubahan itu sendiri. Semua orang sudah
mahfum dengan perkataan ini. Tetapi, tidak semua paham bahwa setiap
perubahan selalu datang sambil bergandengan dengan segudang peluang
atau pilihan.
Saya membicarakannya karena tergelitik kampanye internal salah satu
biro iklan besar di Indonesia. ''Berubah atau Punah.'' Begitu yang
terbaca pada spanduk kecil yang terpampang pada sudut-sudut kantor
biro iklan yang berada di salah satu gedung jangkung di Jakarta.
''Tidak selamanya pergantian keadaan menuju ke arah lebih baik.
Sekali pun yang datang krisis, sejumlah peluang dan pilihan tetap
menyertainya,'' kata chief operating officer-nya.
Ambil contoh ketika terjebak kemacetan lalu lintas Jakarta. Apa yang
dapat Anda lakukan kalau berada dalam situasi menjemukan itu? Senada
dengan pendapat pemimpin biro iklan tersebut, ternyata banyak yang
dapat dilakukan kendati dalam krisis. Sejumlah teman mengaku mengisi
kemacetan dengan berzikir. Kebanyakan memilih membaca koran maupun
buku. Ada juga yang memasang kaset pelajaran bahasa asing. Semua
baik ketimbang menggerutui orang lain dan polisi.
Sementara itu, seorang teman lain memilih membuka laptop-nya dan
menyelesaikan pekerjaan setiap kali terjebak keruwetan lalu lintas.
Contoh yang ini menjelaskan bahwa dia telah beradaptasi dengan
revolusi perubahan cepat teknologi informasi dan teknologi.
Dan, dia telah mendefinisikan kembali cara kerja dan cara pandang
terhadap segala sesuatu di jaman serba komputer sekarang ini. Dia
mempunyai rumusan baru menjalankan bisnis konsultannya dengan
sokongan teknologi, yakni 3F: fast, focus dan flexible. Sehingga,
dari setiap tempat dia dapat bekerja dan berkomunikasi dengan mitra
bisnis.
Dengan rumusan tersebut dia mengaku sedang menjadikan dirinya sebuah
merek atau citra. Persis seperti sebuah perusahaan yang mencoba
menjaga reputasi dengan memuaskan semua pihak yang terkait langsung
maupun tidak terhadapnya. Sekarang ini banyak perusahaan atau produk
yang sengaja membangun citra jati dirinya ibarat manusia berbudi,
lewat aktivitas menderma, menghibur, dan memudahkan.
Cerita tersebut menarik bila disandingkan dengan semakin seringnya
datang kabar bahwa perusahaan-perusahaan sedang merasionalisasi atau
melakukan restrukturisasi organisasinya. Maksud saya, semua itu
ujung-ujungnya berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah
karyawan dengan segala konsekuensi ke penghidupan banyak keluarga.
Kembali ke awal pembicaraan kita, mereka yang terkena PHK berarti
menemui perubahan berupa krisis. Artinya, mereka sesungguhnya bukan
mengalami petaka tapi menjadi memiliki banyak peluang dan pilihan
mau bagaimana di kemudian hari.
Menjadi lebih baik. Itu pasti yang mereka inginkan. Caranya? Bisa
bekerja di tempat lain kalau masih terbuka lowongan, menjadi
wiraswasta, dan banyak lagi. Namun, apapun yang dipilih ada baiknya
mencontoh bagaimana sebuah manajemen membangun citra perusahaan
sedemikian rupa. Dengan kata lain, diri kita perlu manajemen diri
sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan yang dialami.
Anjuran tersebut berlaku bagi semua. Bukan hanya bagi yang terkena
PHK. Sebab, seiring jarum jam berputar, perubahan terus terjadi pada
diri dan lingkungan kita. Segera ciptakan pernyataan positioning
diri setalah mengevaluasi ekuitas merek diri. Intinya mengenali diri
sendiri dan mengetahui pasti apa yang dapat diperbuat dan bagaimana
strategi mencapainya.
Hal tersebut persis dengan yang diperbuat oleh manajemen perusahaan.
Mereka sadar harus terus memperbaiki diri terus menerus. Jika perlu
ganti logo, gaya komunikasi, ganti disain ruang kerja dan alat kerja
yang sudah ketinggalan jaman. Yang penting, terus mampu bersaing dan
mampu beradaptasi dengan gencarnya perubahan.
Nah, Anda dapat melihat sendiri belakangan ini bermunculan nama dan
logo baru di sekitar kita. Ada toko obat, yang namanya begitu
melekat, sekarang tampil dengan warna cerah dan masa kini. Sebuah
asuransi milik negara dan berumur tua juga tampil seperti perusahaan
yang baru kemarin diperkenalkan. Dan banyak lagi.
Sesungguhnya mereka ingin memperlihatkan kepada kita bahwa mereka
tetap mampu bersaing, tetap berdaya, dan masih pas dengan masa kini.
Begitulah mestinya diri kita. Jangan sampai kalah bersaing karena
menghindari perubahan dan tidak melihat peluang.
Berubah atau punah.
Sebuah Usaha Kecil Mencapai Ridho Ilahi, semoga Selamat dan menyelamatkan sesama mahluk dalam cerita renungan dan kewirausahaan
04 Juli 2009
Sebuah Catatan
1. Lupakan kesalahan/dosa orang lain sama kita, tapi ingatkan kebaikan yg pernah dilakukannya sama kita.Balaslah ketidak baikan orang lain, dengan kebaikan,supaya kita tdk dendam, tdk sakit hati dan tdk membenci,supaya orang lain tsb, bisa menyadari kekeliruannya.
2. Berbuat dan bekerjalah dengan motivasi, niat hanya utk mengabdi, mencari Ridho NYA, bukan utk mengejar jabatan, bukan utk menyenangkan atasan, bukan utk cari muka, popularitas,karena kalau kita niatnya hanya utk mengejar jabatan,hanya utk menyenangkan atasan, cuma utk cari popularitas, maka suatu saat kita akan kecewa, kalau tujuan dan maksud kita tsb tdk tercapai, akhirnya kita akan malas2, benci sama bos, sakit hati sama kawan yg promosi.
3. Syukurilah dan nikmatilah apa2 yg ada dan yg kita peroleh, karena apa yg ada dan yg kita peroleh, itulah yg terbaik utk kita, itulah hak/rezeki kita dan berusahalah utk meningkatkannya.Selalulah melihat kebawah, supaya kita bisa merasa diatas.Jangan suka melihat keatas, karena kita akan merasa selalu dibawah, membuat kita tdk bersyukur.Masih banyak orang lain yg lebih susah, lebih menderita, lebih rendah tingkat kehidupannya dari kita.
4. Bantulah orang lain, gampangkan urusannya, layani dia dg baik, hargai dia, senangkan hatinya,karena semuanya itu akan kembali manfaatnya kepada kita.Kalau kita menolong orang lain, maka suatu saat kita akan dapat pertolongan.Kalau kita pernah memberi, pasti kita akan menerima kembali.Kalau kita pernah mempersulit orang,maka kesulitan pasti akan menghadang kita.Kalau kita pernah mebohongi orang,maka suatu saat kita akan dibohongi juga.Kalau kita pernah menyakiti hati orang lain, suatu saat kita akan sakit hati, kalau kita pernah mengambil, memakan hak orang lain, seperti hak anak yatim, hak fakir miskin, hak teman, hak bawahan,maka suatu saat, hak2 orang lain itu kan diambil kembali, melalui cara2 yg menyakitkan, seperti kita akan dimaling, dirampok, kecelakaan,ditipu, kena penyakit, kehilangan, anak2 yg nakal, dsb.
5. Berlaku jujurlah apa adanya, sederhanalah,jagalah amanah,tepati janji,karena semuanya itu akan memuliakan dan membuat orang lain percaya sama kita, disenangi orang, yg berdampak semua urusan kita akan lancar, kawan kita akan banyak,hidup akan bahagia.
2. Berbuat dan bekerjalah dengan motivasi, niat hanya utk mengabdi, mencari Ridho NYA, bukan utk mengejar jabatan, bukan utk menyenangkan atasan, bukan utk cari muka, popularitas,karena kalau kita niatnya hanya utk mengejar jabatan,hanya utk menyenangkan atasan, cuma utk cari popularitas, maka suatu saat kita akan kecewa, kalau tujuan dan maksud kita tsb tdk tercapai, akhirnya kita akan malas2, benci sama bos, sakit hati sama kawan yg promosi.
3. Syukurilah dan nikmatilah apa2 yg ada dan yg kita peroleh, karena apa yg ada dan yg kita peroleh, itulah yg terbaik utk kita, itulah hak/rezeki kita dan berusahalah utk meningkatkannya.Selalulah melihat kebawah, supaya kita bisa merasa diatas.Jangan suka melihat keatas, karena kita akan merasa selalu dibawah, membuat kita tdk bersyukur.Masih banyak orang lain yg lebih susah, lebih menderita, lebih rendah tingkat kehidupannya dari kita.
4. Bantulah orang lain, gampangkan urusannya, layani dia dg baik, hargai dia, senangkan hatinya,karena semuanya itu akan kembali manfaatnya kepada kita.Kalau kita menolong orang lain, maka suatu saat kita akan dapat pertolongan.Kalau kita pernah memberi, pasti kita akan menerima kembali.Kalau kita pernah mempersulit orang,maka kesulitan pasti akan menghadang kita.Kalau kita pernah mebohongi orang,maka suatu saat kita akan dibohongi juga.Kalau kita pernah menyakiti hati orang lain, suatu saat kita akan sakit hati, kalau kita pernah mengambil, memakan hak orang lain, seperti hak anak yatim, hak fakir miskin, hak teman, hak bawahan,maka suatu saat, hak2 orang lain itu kan diambil kembali, melalui cara2 yg menyakitkan, seperti kita akan dimaling, dirampok, kecelakaan,ditipu, kena penyakit, kehilangan, anak2 yg nakal, dsb.
5. Berlaku jujurlah apa adanya, sederhanalah,jagalah amanah,tepati janji,karena semuanya itu akan memuliakan dan membuat orang lain percaya sama kita, disenangi orang, yg berdampak semua urusan kita akan lancar, kawan kita akan banyak,hidup akan bahagia.
Motivasi
Pendahuluan :
Apakah itu Motivasi??Difinisi Motivasi disini adalah “faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat”.
Tulisan ini dibatasi pada lingkup orang2 yang sudah bekerja tetap disuatu Institusi dan dalam hal kita ambil contoh saja di Telkom.
Dimana Pegawai Telkom itu sudah digaji sesuai dengan Peraturan yang ada dan diberi fasilitas lainnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sekarang tinggal bagaimana dia bisa bekerja dengan baik dan motivasi apa yang mendorong dia untuk bekerja dengan baik tersebut.
Pembahasan :
Banyak kita dengar kalau seseorang mau melakukan sesuatu, berbuat sesuatu karena ada sesuatu yang mendorong dan menjadi tujuan mereka atau ada sesuatu yang diharapkan mereka.
Ada yang rajin bekerja, disiplin, hasilnya bagus karena mengharapkan kenaikan pangkat, promosi jabatan, mutasi, dsb.
Ada juga yang bekerja habis2an karena ingin disayangi atasan, ingin dianggap Pegawai yang baik, Pegawai yang rajin, dsb.
Ada juga yang mau bekerja dengan baik asalkan ditempatkan di Kota yg disukai dan pada bidang kerja yang disenangi.
Dari contoh diatas, motivasi seseorang masih sebatas mengharap imbalan yang lahir saja, dimana kalau harapan dan tujuan mereka tidak tercapai, maka mereka akan berobah menjadi malas, mengupat, menyalahkan orang lain, frustasi dan sifat jelek lainnya.
Yang diharapkan adalah Motivasi Spiritual, artinya apa??Kita berkeja hanya didorong oleh perasaan hanya mengharapkan Ridho Allah, Tuhan Yang Maha Adil, ikhlas.
Sesuai dengan janji Tuhan, Zat Yang Tidak Pernah mengingkari Janji bahwa “setiap perbuatan baik, dengan didasari niat ikhlas, maka akan mendapat pembalasan yang baik pula dan semua perbuatan jahat akan menerima pembalasan yg tidak baik pula, kecuali kita cepat minta ampun”.Siapa yang menabur angin dia akan menuai badai, itu pasti.
Jadi kalau seseorang yang sudah mempunyai motivasi spritual dalam bekerja maka dia tidak akan main hitungan dalam bekerja karena kita yakin dan sangat percaya bahwa Hitungan Yang Maha Adil itu sangat akurat.. Kita tidak akan kecewa kalau ternyata setelah mereka bekerja dengan semaksimal mungkin, nyatanya hasilnya atau imbalannya belum sesuai dengan yang kita harapkan karena kita harus yakin bahwa Tuhan masih menguji kesabaran kita. Apakah dengan hasil yg kurang sesuai dengan harapan ini akan membuat kita berobah pikiran, jadi malas, berontak, frustasi, ogah2an ,menyalahkan orang lain, dsb.
Selanjutnya, imbalan dari semua kebaikan tadi tidak hanya berupa promosi saja, tapi bisa saja yang berupa lainnya, seperti ketenangan jiwa, badan yang sehat, keluarga yang sakhinah, anak-anak yag cerdas, baik budi, urusan yang lancar, dsb.
Keyakinan lain yang harus ada pada diri kita adalah “Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya”, artinya mungkin promosi, bagi kita yang sudah bekerja dengan baik adalah sesuatu yang tidak baik bagi kita. Mungkin dengan bertambah tingginya jabatan berakibat meningkatnya kesibukan sehingga waktu untuk keluarga dan ibadah akan berkurang dan godaan terhadap penyelewengan jabatan akan lebih kuat.
Contoh lain, kalau kita mengharapkan bekerja di kota yag disukai saja dan pada bidang tugas yang disenangi maka apabila kita dimutasikan ke kota yag bukan pilihan kita dan pada bidang yg asing bagi kita maka kita akan mengalami persolan dg diri kita sendiri, karena seoalah-olah kitalah yang mengatur jalan hidup kita, padahal ada Yang Maha Pengatur. Padahal mungkin kota yang kita inginkan tersebut tidak baik untuk kita dan keluarga, sehingga kita dimutasikan yang tentunya atas se izin Tuhan. Kalau kita harus berpisah dengan keluarga karena tugas, mungkin ada hikmahnya, mungkin anak dan istri kita bisa lebih mandiri, lebih tahu diri dan anak-anak kita lebih cepat dewasa pola pikirnya dan bisa merasakan bagaimana rasanya berpisah jauh dari sang Ayah atau Ibu, sebelum mereka merasakan berpisah dengan orang tua karena orang tua meninggal dunia.
Tuhan tidak akan membebeni hambanya, kecuali sebatas kemampuannya.
Kita harus punya keyakinan berikutnya bahwa rezeki masing-masing hamba telah diatur dan ditentukan oleh Yang Maha Pengatur, sehingga masing-masing orang belum tentu sama rezekinya. Sehingga bisa saja rezeki teman seangkatan tidak sama dengan kita, sehingga pangkat dan jabatannya pun berbeda. Dengan keyakinan ini akan mengindarkan diri kita dari sifat iri, dengki dengan pangkat, jabatan, rezeki yang diperoleh orang lain. Serta tidak membandingkan gaji, fasilitas, dsb dengan orang lain atau dengan Perusahaan lain, seperti dengan Telkomsel.
Tidak akan tertukar rezeki seseorang dengan orang lain dan tidak akan salah letak pula dosa yang harus dipikul oleh pelakunya, semuanya akan ditempatkan pada posisi yg benar dan tepat,
Apakah itu Motivasi??Difinisi Motivasi disini adalah “faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat”.
Tulisan ini dibatasi pada lingkup orang2 yang sudah bekerja tetap disuatu Institusi dan dalam hal kita ambil contoh saja di Telkom.
Dimana Pegawai Telkom itu sudah digaji sesuai dengan Peraturan yang ada dan diberi fasilitas lainnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sekarang tinggal bagaimana dia bisa bekerja dengan baik dan motivasi apa yang mendorong dia untuk bekerja dengan baik tersebut.
Pembahasan :
Banyak kita dengar kalau seseorang mau melakukan sesuatu, berbuat sesuatu karena ada sesuatu yang mendorong dan menjadi tujuan mereka atau ada sesuatu yang diharapkan mereka.
Ada yang rajin bekerja, disiplin, hasilnya bagus karena mengharapkan kenaikan pangkat, promosi jabatan, mutasi, dsb.
Ada juga yang bekerja habis2an karena ingin disayangi atasan, ingin dianggap Pegawai yang baik, Pegawai yang rajin, dsb.
Ada juga yang mau bekerja dengan baik asalkan ditempatkan di Kota yg disukai dan pada bidang kerja yang disenangi.
Dari contoh diatas, motivasi seseorang masih sebatas mengharap imbalan yang lahir saja, dimana kalau harapan dan tujuan mereka tidak tercapai, maka mereka akan berobah menjadi malas, mengupat, menyalahkan orang lain, frustasi dan sifat jelek lainnya.
Yang diharapkan adalah Motivasi Spiritual, artinya apa??Kita berkeja hanya didorong oleh perasaan hanya mengharapkan Ridho Allah, Tuhan Yang Maha Adil, ikhlas.
Sesuai dengan janji Tuhan, Zat Yang Tidak Pernah mengingkari Janji bahwa “setiap perbuatan baik, dengan didasari niat ikhlas, maka akan mendapat pembalasan yang baik pula dan semua perbuatan jahat akan menerima pembalasan yg tidak baik pula, kecuali kita cepat minta ampun”.Siapa yang menabur angin dia akan menuai badai, itu pasti.
Jadi kalau seseorang yang sudah mempunyai motivasi spritual dalam bekerja maka dia tidak akan main hitungan dalam bekerja karena kita yakin dan sangat percaya bahwa Hitungan Yang Maha Adil itu sangat akurat.. Kita tidak akan kecewa kalau ternyata setelah mereka bekerja dengan semaksimal mungkin, nyatanya hasilnya atau imbalannya belum sesuai dengan yang kita harapkan karena kita harus yakin bahwa Tuhan masih menguji kesabaran kita. Apakah dengan hasil yg kurang sesuai dengan harapan ini akan membuat kita berobah pikiran, jadi malas, berontak, frustasi, ogah2an ,menyalahkan orang lain, dsb.
Selanjutnya, imbalan dari semua kebaikan tadi tidak hanya berupa promosi saja, tapi bisa saja yang berupa lainnya, seperti ketenangan jiwa, badan yang sehat, keluarga yang sakhinah, anak-anak yag cerdas, baik budi, urusan yang lancar, dsb.
Keyakinan lain yang harus ada pada diri kita adalah “Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya”, artinya mungkin promosi, bagi kita yang sudah bekerja dengan baik adalah sesuatu yang tidak baik bagi kita. Mungkin dengan bertambah tingginya jabatan berakibat meningkatnya kesibukan sehingga waktu untuk keluarga dan ibadah akan berkurang dan godaan terhadap penyelewengan jabatan akan lebih kuat.
Contoh lain, kalau kita mengharapkan bekerja di kota yag disukai saja dan pada bidang tugas yang disenangi maka apabila kita dimutasikan ke kota yag bukan pilihan kita dan pada bidang yg asing bagi kita maka kita akan mengalami persolan dg diri kita sendiri, karena seoalah-olah kitalah yang mengatur jalan hidup kita, padahal ada Yang Maha Pengatur. Padahal mungkin kota yang kita inginkan tersebut tidak baik untuk kita dan keluarga, sehingga kita dimutasikan yang tentunya atas se izin Tuhan. Kalau kita harus berpisah dengan keluarga karena tugas, mungkin ada hikmahnya, mungkin anak dan istri kita bisa lebih mandiri, lebih tahu diri dan anak-anak kita lebih cepat dewasa pola pikirnya dan bisa merasakan bagaimana rasanya berpisah jauh dari sang Ayah atau Ibu, sebelum mereka merasakan berpisah dengan orang tua karena orang tua meninggal dunia.
Tuhan tidak akan membebeni hambanya, kecuali sebatas kemampuannya.
Kita harus punya keyakinan berikutnya bahwa rezeki masing-masing hamba telah diatur dan ditentukan oleh Yang Maha Pengatur, sehingga masing-masing orang belum tentu sama rezekinya. Sehingga bisa saja rezeki teman seangkatan tidak sama dengan kita, sehingga pangkat dan jabatannya pun berbeda. Dengan keyakinan ini akan mengindarkan diri kita dari sifat iri, dengki dengan pangkat, jabatan, rezeki yang diperoleh orang lain. Serta tidak membandingkan gaji, fasilitas, dsb dengan orang lain atau dengan Perusahaan lain, seperti dengan Telkomsel.
Tidak akan tertukar rezeki seseorang dengan orang lain dan tidak akan salah letak pula dosa yang harus dipikul oleh pelakunya, semuanya akan ditempatkan pada posisi yg benar dan tepat,
IMAM ASY-SYAFI'I (Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya)
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
IMAM ASY-SYAFI'I (Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya)
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik ‘kisah-kisah islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-‘Afifah
The Amazing of Adzan
Amazing as it sounds, but fortunately for the Muslims
of the world, it is an established fact. Have a lookat
a map of the world and you will find Indonesia on the
eastern side of the earth. The major cities of
Indonesia are Java, Sumatra, Borneo and Saibil.
As soon as dawn breaks on the eastern side of Saibil,
at approximately 5:30 am local time, Fajar Azaan
begins. Thousands of Muazzins in Indonesia begin
reciting the Azaan. The process advances towards West
Indonesia . One and a half hours after the Azaan has
been completed in Saibil, it echoes in Jakarta .
Sumatra then follows suit and before this auspicious
process of calling Azaan ends in Indonesia , it has
already begun in Malaysia . Burma is next in line, and
within an hour of its beginning in Jakarta , it reaches
Dacca , the capital ! city of Bangladesh .
After Bangladesh , it has already prevailed in western
India , from Calcutta to Srinagar . It then advances
towards Bombay and the environment of entire India
resounds with this proclamation. Srinagar and Sialkot
(a city in north Pakistan )have the same timing for
Azaan. The time difference between Sialkot , Quetta ,and
Karachi is forty minutes, and within this time, Fajar
Azaan is heard throughout Pakistan .
Before it ends there, it has already begun in
Afghanistan and Muscat . The time difference between
Muscat and Baghdad is one hour. Azaan resounds during
this one hour in the environments of Hijaaz-e-Muqaddas
(Holy cities of Makkah and Madinah), Yemen ,United Arab
Emirates, Kuwait and Iraq .
The time difference between Baghdad and Alexandria in
Egypt is again one hour. Azaan continues to resound in
Syria , Egypt , Somalia and Sudan during this hour. The
time difference between eastern and western Turkey is
one and a half hours, and during this time it is
echoed with the call to prayer.
Alexandria and Tripoli (capital of Libya ) are located
at one hour's difference. The process of calling Azaan
thus continues throughout the whole of Africa .
Therefore, the proclamation of the Tawheed and
Risaalat that had begun in Indonesia reaches the
Eastern Shore of the Atlantic Ocean after nine and
half hours.
Prior to the Azaan reaching the shores of the
Atlantic , the process of Zohar Azaan has already
started in east Indonesia , and before it reaches
Dacca , Asar Azaan has started. This has hardly reached
Jakarta one and half hours later, the time of Maghrib
becomes due, and no sooner has Maghrib time reached
Sumatra , the time for calling Isha Azaan has commenced
in Saibil!
When the Muazzins of Indonesia are calling out Fajar
Azaan, the African Muazzins are calling the Azaan for
Isha.
If we were to ponder over this phenomenon
thoughtfully, we would conclude the amazing fact that
there is not even a single moment when hundreds of
thousands of Muazzins around the world are not
reciting the Azaan on the surface of this earth. Even
as you read this aterial right now, you can be sure
there are atleast thousands of people who are hearing
and reciting the Azaan!!!
Allah said, "If you are ashamed of me, I will be
ashamed of you." If you are not ashamed, please send
this message...
"Yes, I love Allah. Allah is my fountain of Life and
My Savior. Allah keeps me going day and night. Without
Allah, I am no one. But with Allah, I can do
everything. Allah is my strength."
Hamba Allah,
of the world, it is an established fact. Have a lookat
a map of the world and you will find Indonesia on the
eastern side of the earth. The major cities of
Indonesia are Java, Sumatra, Borneo and Saibil.
As soon as dawn breaks on the eastern side of Saibil,
at approximately 5:30 am local time, Fajar Azaan
begins. Thousands of Muazzins in Indonesia begin
reciting the Azaan. The process advances towards West
Indonesia . One and a half hours after the Azaan has
been completed in Saibil, it echoes in Jakarta .
Sumatra then follows suit and before this auspicious
process of calling Azaan ends in Indonesia , it has
already begun in Malaysia . Burma is next in line, and
within an hour of its beginning in Jakarta , it reaches
Dacca , the capital ! city of Bangladesh .
After Bangladesh , it has already prevailed in western
India , from Calcutta to Srinagar . It then advances
towards Bombay and the environment of entire India
resounds with this proclamation. Srinagar and Sialkot
(a city in north Pakistan )have the same timing for
Azaan. The time difference between Sialkot , Quetta ,and
Karachi is forty minutes, and within this time, Fajar
Azaan is heard throughout Pakistan .
Before it ends there, it has already begun in
Afghanistan and Muscat . The time difference between
Muscat and Baghdad is one hour. Azaan resounds during
this one hour in the environments of Hijaaz-e-Muqaddas
(Holy cities of Makkah and Madinah), Yemen ,United Arab
Emirates, Kuwait and Iraq .
The time difference between Baghdad and Alexandria in
Egypt is again one hour. Azaan continues to resound in
Syria , Egypt , Somalia and Sudan during this hour. The
time difference between eastern and western Turkey is
one and a half hours, and during this time it is
echoed with the call to prayer.
Alexandria and Tripoli (capital of Libya ) are located
at one hour's difference. The process of calling Azaan
thus continues throughout the whole of Africa .
Therefore, the proclamation of the Tawheed and
Risaalat that had begun in Indonesia reaches the
Eastern Shore of the Atlantic Ocean after nine and
half hours.
Prior to the Azaan reaching the shores of the
Atlantic , the process of Zohar Azaan has already
started in east Indonesia , and before it reaches
Dacca , Asar Azaan has started. This has hardly reached
Jakarta one and half hours later, the time of Maghrib
becomes due, and no sooner has Maghrib time reached
Sumatra , the time for calling Isha Azaan has commenced
in Saibil!
When the Muazzins of Indonesia are calling out Fajar
Azaan, the African Muazzins are calling the Azaan for
Isha.
If we were to ponder over this phenomenon
thoughtfully, we would conclude the amazing fact that
there is not even a single moment when hundreds of
thousands of Muazzins around the world are not
reciting the Azaan on the surface of this earth. Even
as you read this aterial right now, you can be sure
there are atleast thousands of people who are hearing
and reciting the Azaan!!!
Allah said, "If you are ashamed of me, I will be
ashamed of you." If you are not ashamed, please send
this message...
"Yes, I love Allah. Allah is my fountain of Life and
My Savior. Allah keeps me going day and night. Without
Allah, I am no one. But with Allah, I can do
everything. Allah is my strength."
Hamba Allah,
AL-IMAM MALIK BIN ANAS (Imam Ahli Madinah)
Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-Imam Abu Abdillah, Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syaddad bin Zur`ah Himyar al-Ashghar al-Himyari kemudian al-Ashbahi al-Madani. Ibu beliau bernama Aliyah bintu Syarik al-Azdiyyah.
Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah
Sifat-Sifat Beliau
Beliau RAH berwajah tampan, berkulit putih kemerah-merahan, berperawakan tinggi besar, berjenggot lebat, pakaiannya selalu bersih, suka berpakaian warna putih, jika memakai ‘imamah (syal) sebagian diletakkan di bawah dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya. Beliau selalu memakai wangi-wangian dari misk (kasturi) dan yang lainnya.
Beliau tersohor dengan kecerdasan, keshalihan, keluhuran jiwa dan kemuliaan akhlaqnya.
Pertumbuhan Dan Guru-Guru Beliau
Beliau RAH menuntut ilmu ketika masih berusia belasan tahun. Ketika berusia 21 tahun beliau sudah mencapai tingkatan mufti yang boleh berfatwa dan memiliki majelis pengajian tersendiri. Banyak ulama yang mengambil ilmu riyawat dari beliau saat beliau masih begitu muda.
Banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru datang kepada beliau pada akhir kekhalifahan Abu Ja`far al-Manshur dan bertambah banyak pada kekhalifahan Harun al-Rasyid hingga beliau wafat.
Beliau mengambil ilmu dari Nafi`, Maula Ibnu Umar, Sa`id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Dinar dan banyak lagi selain mereka yang jumlahnya melebihi 1400 orang.
Murid-Murid Beliau
Di antara guru-guru beliau yang mengambil riwayat dari beliau adalah paman beliau Abu Suhail bin Abu Amir, Yahya bin Abu Katsir, az-Zuhri, Yahya bin Sa`id, Yazid bin Hadzai bin Abu Usainah, Umar bin Muhammad bin Zaid dan selain mereka.
Di antara murid-murid beliau adalah Ma`mar bin Rasyid, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, asy-Syafi`i, Amr bin Harits, al-Auza`i, Syu`bah, Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Abdul Aziz ad-Darawardi, Ibnu Abi Zinad, Ibnu Ulayyah, Yahya bin Abu Zaidah, Abu Ishaq al-Fazari, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abdurrahman bin Qasim, Abdurrahman bin Mahdi, Ma`n bin Isa, Abdullah bin wahb, Musa bin Thariq, Nu`man bin Abdussalam, Waki` bin Jarrah, Walid bin Muslim, Yahya al-Qaththan dan selain mereka.
Murid beliau yang terakhir meninggal adalah perawi kitab al-Muwaththa`, Abu Hudzafah Ahmad bin Isma`il as-Sahmi, dia hidup selama 80 tahun sepeninggal al-Imam Malik.
Hadist Yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan Beliau
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah.” (Diriyawatkan oleh Nasa`i dalam sunan kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimatul Jarhwat Ta`dil hal.11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam siyar 8/56: hadist ini sanadnya bersih dan matannya gharib.
Abdurrazaq bin Hamman berkata, ”kami memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam Sabda Rasulullah saw…. Mereka tidak mendapati seorang alim yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama di madinah.)”
Abdul Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa makna hadist di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak mendapati orang yang lebih berilmu dari pada ulama di Madinah.
Adz-Dzahabi berkata;”Tidak ada seorang ulama pun di Madinah setelah tabi`in yang menyerupai Malik dalam keilmuan, fiqh, keagungan dan hapalan.”
Fiqh dan Kelimuan Beliau
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilanglah ilmu Hijaz.”
Al-Imam asy-Syafi`i juga berkata, ”Muhammad bin Hasan sahabat Abu Hanifah berkata kepadaku, ’siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau sahabat kalian (yaitu Malik)? ’Aku berkata, ’secara adil?’ dia berkata, ’Ya.’ Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Siapakah yang yang lebih mengetahui tentang Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang perkatan para sahabat Rasulullah SAW dan perkataan para ulama terdahulu; sahabat kami atau sahabat kalian? ’Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik).” asy-Syafi`i berkata, ”Maka aku berkata, ’Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas adalah analogi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini, pada apa dia mengqiyaskan sesuatu?”
Abu Hatim ar-Razi berkata, ’Malik bin Anas adalah seorang yang tsiqah, Imam penduduk Hijaz, dia adalah murid Zuhri yang terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah Malik.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ”Malik bin Anas adalah manusia yang paling mantap dalam hadits.”
Kehati-hatian Beliau Dalam Berfatwa
Abu Mush`ab berkata, ”Aku mendengar Malik berkata, ”Aku berfatwa hingga 70 orang bersaksi bahwa aku layak berfatwa.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seorang kepadanya seraya berkata, ’Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan, penduduk negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.’ Al-Imam Malik berkata, ’Tanyakanlah!’ Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan.
Al-Imam Malik menjawab, ’Aku tidak bisa menjawabnya.’ Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata, ’Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang pada mereka?’ Al-Imam Malik berkata, ’Katakan kepada mereka, Malik tidak bisa menjawab.”
Khalid bin Khidasy berkata, ”Aku datang kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah ia menjawabnya kecuali 5 masalah saja.”
Perhatian Beliau kepada Kitabullah
Khalid al-Aili berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih memiliki perhatian kepada kitabullah dibandingkan Malik bin Anas.”
Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku bertanya kepada saudara perempuan Malik bin Anas, ’Apakah kesibukan Malik di rumahnya.?” Dia menjawab, ’Mushaf dan tilawah.”
Tentang Akal dan Adab Beliau
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akalnya dibandingkan Malik bin Anas.”
Abu Mush`ab berkata, ”Aku tidak pernah sekalipun mendengar Malik menyuruh orang berdiri, dia hanya berkata, ’kalau kalian menghendaki, kembalilah.”
Abdullah bin wahb berkata, ”Yang kami nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari ilmunya.”
Ittiba` Beliau kepada Sunnah
Abdullah bin Wahb, ”Aku mendengar Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki ketika berwudhu, maka dia berkata, ”Hal-hal itu tidak disyari`atkan atas manusia.” Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku biarkan dia sampai ketika sudah sepi dari manusia, aku katakan kepadanya, ’kami memiliki hadits tentang itu.’ Maka ia berkata, ’Apa itu?’ Aku berkata, ’Telah mengkabarkan kepada kami Laits bin Sa`ad, Ibnu Lahi`ah dan Amr bin Harits dari Yazid bin Amr Al-Ma`afiri dari Abu Abdirrahman a-Hubulli dari Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, dia berkata, aku melihat Rasulullah SAW menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan kelingkingnya.’ Malik berkata, ’Hadits ini Hasan, aku belum pernah mendengarnya kecuali saat ini. ”Abdullah bin Wahb berkata, ”Kemudian sesudah itu aku mendengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu.”
Diantara Perkataan-perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata, ”Ilmu tidak boleh diambil dari 4 orang: orang dungu yang menampakkan kedunguannya meskipun dia paling banyak riwayatnya, Ahli bid`ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, orang yang biasa berdusta ketika bicara dengan manusia meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits dan orang shalih yang banyak beribadah jika dia tidak hafal hadits yang dia riwayatkan.”
Beliau berkata, ”Rasulullah SAW dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah, mengambil sunnah-sunnah tersebut adalah ittiiba` kepada kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Allah dan kekuatan di atas agama Allah. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti sunnah-sunnah tersebut dan melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Orang yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan petenjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan orang-orang mu`min, Allah memalingkannya sebagaimana dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahanam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali.”
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, ”Adalah al-Imam Malik jika didatangi oleh sebagian ahli bid`ah, dia mengatakan, ’Adapun aku maka berada di atas kejelasan agamaku. Adapun kamu maka seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah dia.”
Ja`far bin Abdullah berkata, ”Kami berada di sisi Malik, lalu tiba-tiba datang seseorang yang berkata, ’wahai Abu Abdillah, Allah bersemayam di atas `Arsy, bagaimana istiwa` itu?’ tidaklah Malik marah dari sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangannya hingga bercucuran keringatnya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya mengatakan, ’Kaifiyyat (cara) dari istiwa` tidak diketahui, istiwa` bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa` adalah wajib dan bertanya tentang kaifiyyatnya adalah bid`ah dan aku menduga kamu adalah seorang ahli bid`ah.” Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis.
Cobaan Beliau
Ibnu Jarir berkata, ”Malik pernah dipukul dengan cambuk.” Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan ath-Thathari bahwasanya Abu Ja`far al-Manshur melarang Malik menyampaikan haditst, ’Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa.‘ Kemudian ada orang yang menyelundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik menyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja`far kemudian mencambuk Malik.”
Muhammad bin Umar berkata, ”Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia.”
Azd-Dzahabi berkata, ”Inilah buah dari pujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman.”
Tulisan-Tulisan Beliau
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah al-Muwaththa’ yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi`i, “Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yanng lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’ karya Malik.” Tulisan lainnya, sebuah Risalah mengenai Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qamar yang diriyawatkan oleh Sahnun dari Nafi` dari beliau, sebuah Risalah mengenai Aqdhiyah (Hukum Peradilan), Juz dalam Tafsir, Kitabus Sirr, Risalah ila Laits fi Ijma` Ahlil Madinah dan yang lainnya.
Wafat Beliau
Al-Imam Malik wafat di pagi hari 14 Rabi`ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
(Sumber:Majalah Al-Furqan edisi 9, tahun V, Rabi`uts Tsani 1427/Mei 2006
Beliau adalah al-Imam Abu Abdillah, Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syaddad bin Zur`ah Himyar al-Ashghar al-Himyari kemudian al-Ashbahi al-Madani. Ibu beliau bernama Aliyah bintu Syarik al-Azdiyyah.
Kelahiran Beliau
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah
Sifat-Sifat Beliau
Beliau RAH berwajah tampan, berkulit putih kemerah-merahan, berperawakan tinggi besar, berjenggot lebat, pakaiannya selalu bersih, suka berpakaian warna putih, jika memakai ‘imamah (syal) sebagian diletakkan di bawah dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya. Beliau selalu memakai wangi-wangian dari misk (kasturi) dan yang lainnya.
Beliau tersohor dengan kecerdasan, keshalihan, keluhuran jiwa dan kemuliaan akhlaqnya.
Pertumbuhan Dan Guru-Guru Beliau
Beliau RAH menuntut ilmu ketika masih berusia belasan tahun. Ketika berusia 21 tahun beliau sudah mencapai tingkatan mufti yang boleh berfatwa dan memiliki majelis pengajian tersendiri. Banyak ulama yang mengambil ilmu riyawat dari beliau saat beliau masih begitu muda.
Banyak para penuntut ilmu dari berbagai penjuru datang kepada beliau pada akhir kekhalifahan Abu Ja`far al-Manshur dan bertambah banyak pada kekhalifahan Harun al-Rasyid hingga beliau wafat.
Beliau mengambil ilmu dari Nafi`, Maula Ibnu Umar, Sa`id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Dinar dan banyak lagi selain mereka yang jumlahnya melebihi 1400 orang.
Murid-Murid Beliau
Di antara guru-guru beliau yang mengambil riwayat dari beliau adalah paman beliau Abu Suhail bin Abu Amir, Yahya bin Abu Katsir, az-Zuhri, Yahya bin Sa`id, Yazid bin Hadzai bin Abu Usainah, Umar bin Muhammad bin Zaid dan selain mereka.
Di antara murid-murid beliau adalah Ma`mar bin Rasyid, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, asy-Syafi`i, Amr bin Harits, al-Auza`i, Syu`bah, Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Abdul Aziz ad-Darawardi, Ibnu Abi Zinad, Ibnu Ulayyah, Yahya bin Abu Zaidah, Abu Ishaq al-Fazari, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Abdurrahman bin Qasim, Abdurrahman bin Mahdi, Ma`n bin Isa, Abdullah bin wahb, Musa bin Thariq, Nu`man bin Abdussalam, Waki` bin Jarrah, Walid bin Muslim, Yahya al-Qaththan dan selain mereka.
Murid beliau yang terakhir meninggal adalah perawi kitab al-Muwaththa`, Abu Hudzafah Ahmad bin Isma`il as-Sahmi, dia hidup selama 80 tahun sepeninggal al-Imam Malik.
Hadist Yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan Beliau
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah.” (Diriyawatkan oleh Nasa`i dalam sunan kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimatul Jarhwat Ta`dil hal.11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam siyar 8/56: hadist ini sanadnya bersih dan matannya gharib.
Abdurrazaq bin Hamman berkata, ”kami memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam Sabda Rasulullah saw…. Mereka tidak mendapati seorang alim yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama di madinah.)”
Abdul Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa makna hadist di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak mendapati orang yang lebih berilmu dari pada ulama di Madinah.
Adz-Dzahabi berkata;”Tidak ada seorang ulama pun di Madinah setelah tabi`in yang menyerupai Malik dalam keilmuan, fiqh, keagungan dan hapalan.”
Fiqh dan Kelimuan Beliau
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilanglah ilmu Hijaz.”
Al-Imam asy-Syafi`i juga berkata, ”Muhammad bin Hasan sahabat Abu Hanifah berkata kepadaku, ’siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau sahabat kalian (yaitu Malik)? ’Aku berkata, ’secara adil?’ dia berkata, ’Ya.’ Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang al-Qur`an, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Siapakah yang yang lebih mengetahui tentang Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian?’ Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik). ’Aku berkata, ’Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah yang lebih mengetahui tentang perkatan para sahabat Rasulullah SAW dan perkataan para ulama terdahulu; sahabat kami atau sahabat kalian? ’Dia berkata, ’Sahabat kalian (yaitu Malik).” asy-Syafi`i berkata, ”Maka aku berkata, ’Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas adalah analogi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini, pada apa dia mengqiyaskan sesuatu?”
Abu Hatim ar-Razi berkata, ’Malik bin Anas adalah seorang yang tsiqah, Imam penduduk Hijaz, dia adalah murid Zuhri yang terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah Malik.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ”Malik bin Anas adalah manusia yang paling mantap dalam hadits.”
Kehati-hatian Beliau Dalam Berfatwa
Abu Mush`ab berkata, ”Aku mendengar Malik berkata, ”Aku berfatwa hingga 70 orang bersaksi bahwa aku layak berfatwa.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seorang kepadanya seraya berkata, ’Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan, penduduk negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.’ Al-Imam Malik berkata, ’Tanyakanlah!’ Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan.
Al-Imam Malik menjawab, ’Aku tidak bisa menjawabnya.’ Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata, ’Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang pada mereka?’ Al-Imam Malik berkata, ’Katakan kepada mereka, Malik tidak bisa menjawab.”
Khalid bin Khidasy berkata, ”Aku datang kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah ia menjawabnya kecuali 5 masalah saja.”
Perhatian Beliau kepada Kitabullah
Khalid al-Aili berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih memiliki perhatian kepada kitabullah dibandingkan Malik bin Anas.”
Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku bertanya kepada saudara perempuan Malik bin Anas, ’Apakah kesibukan Malik di rumahnya.?” Dia menjawab, ’Mushaf dan tilawah.”
Tentang Akal dan Adab Beliau
Abdurrahman bin Mahdi berkata, ”Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akalnya dibandingkan Malik bin Anas.”
Abu Mush`ab berkata, ”Aku tidak pernah sekalipun mendengar Malik menyuruh orang berdiri, dia hanya berkata, ’kalau kalian menghendaki, kembalilah.”
Abdullah bin wahb berkata, ”Yang kami nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari ilmunya.”
Ittiba` Beliau kepada Sunnah
Abdullah bin Wahb, ”Aku mendengar Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki ketika berwudhu, maka dia berkata, ”Hal-hal itu tidak disyari`atkan atas manusia.” Abdullah bin Wahb berkata, ”Aku biarkan dia sampai ketika sudah sepi dari manusia, aku katakan kepadanya, ’kami memiliki hadits tentang itu.’ Maka ia berkata, ’Apa itu?’ Aku berkata, ’Telah mengkabarkan kepada kami Laits bin Sa`ad, Ibnu Lahi`ah dan Amr bin Harits dari Yazid bin Amr Al-Ma`afiri dari Abu Abdirrahman a-Hubulli dari Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, dia berkata, aku melihat Rasulullah SAW menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan kelingkingnya.’ Malik berkata, ’Hadits ini Hasan, aku belum pernah mendengarnya kecuali saat ini. ”Abdullah bin Wahb berkata, ”Kemudian sesudah itu aku mendengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu.”
Diantara Perkataan-perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata, ”Ilmu tidak boleh diambil dari 4 orang: orang dungu yang menampakkan kedunguannya meskipun dia paling banyak riwayatnya, Ahli bid`ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, orang yang biasa berdusta ketika bicara dengan manusia meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits dan orang shalih yang banyak beribadah jika dia tidak hafal hadits yang dia riwayatkan.”
Beliau berkata, ”Rasulullah SAW dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah, mengambil sunnah-sunnah tersebut adalah ittiiba` kepada kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Allah dan kekuatan di atas agama Allah. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti sunnah-sunnah tersebut dan melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Orang yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan petenjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan orang-orang mu`min, Allah memalingkannya sebagaimana dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahanam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali.”
Al-Imam asy-Syafi`i berkata, ”Adalah al-Imam Malik jika didatangi oleh sebagian ahli bid`ah, dia mengatakan, ’Adapun aku maka berada di atas kejelasan agamaku. Adapun kamu maka seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah dia.”
Ja`far bin Abdullah berkata, ”Kami berada di sisi Malik, lalu tiba-tiba datang seseorang yang berkata, ’wahai Abu Abdillah, Allah bersemayam di atas `Arsy, bagaimana istiwa` itu?’ tidaklah Malik marah dari sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangannya hingga bercucuran keringatnya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya mengatakan, ’Kaifiyyat (cara) dari istiwa` tidak diketahui, istiwa` bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa` adalah wajib dan bertanya tentang kaifiyyatnya adalah bid`ah dan aku menduga kamu adalah seorang ahli bid`ah.” Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis.
Cobaan Beliau
Ibnu Jarir berkata, ”Malik pernah dipukul dengan cambuk.” Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan ath-Thathari bahwasanya Abu Ja`far al-Manshur melarang Malik menyampaikan haditst, ’Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa.‘ Kemudian ada orang yang menyelundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik menyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja`far kemudian mencambuk Malik.”
Muhammad bin Umar berkata, ”Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia.”
Azd-Dzahabi berkata, ”Inilah buah dari pujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman.”
Tulisan-Tulisan Beliau
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah al-Muwaththa’ yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi`i, “Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yanng lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’ karya Malik.” Tulisan lainnya, sebuah Risalah mengenai Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qamar yang diriyawatkan oleh Sahnun dari Nafi` dari beliau, sebuah Risalah mengenai Aqdhiyah (Hukum Peradilan), Juz dalam Tafsir, Kitabus Sirr, Risalah ila Laits fi Ijma` Ahlil Madinah dan yang lainnya.
Wafat Beliau
Al-Imam Malik wafat di pagi hari 14 Rabi`ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
(Sumber:Majalah Al-Furqan edisi 9, tahun V, Rabi`uts Tsani 1427/Mei 2006
Dome Of The Rock
Bukti kebesaran Allah SWT batu tempat duduk Nabi Muhammad SAW saat Isra Mi'raj sampai kini masih tetap melayang di udara. Pada saat Nabi Muhammad mau Mi'raj batu tsb ikut, tetapi Nabi SAW menghentakan kakinya pada batu tsb, maksudnya agar batu tsb tak usah ikut.
Kisah Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW tentang batu gantung tsb yang berada dalam masjid Umar (Dome of the Rock) di Lingkungan Masjidil AQSHA di Yarusalem
ini foto dari teman saya sewaktu melawat Al Aqsa (yg sebenarnya) di Jerusalem,
Subhanallah ...
foto ini bisa lolos karena tidak diketahui oleh pihak israel yg menjaga tempatnya dengan sangat ketat.
Sampai sekarang mesjid dome of rock ditutup untuk umum, dan Yahudi membuat mesjid lain Al Sakhra tak jauh disebelahnya dengan kubah "emas" (yg sering terlihat di poster2 yg disebarkan ke seluruh dunia dimana2) dan disebut sebagai Al Aqsa, untuk mengelabui ummat islam dimana mesjid Al Aqsa yang sebenarnya, yang Nabi Muhammad SAW pernah sebutkan Al Aqsa sebagai "mesjid kubah biru".
Saat ini mesjid Al Aqsa yg sebenarnya sudah diambil alih oleh israel , dan rencananya mau dihancurkan untuk diganti sebagai temapat ibadah mereka karena bersebelahan dengan tembok ratapan.
Catatan Amal
Al-Faqih mendengar sekelompok ulama meriwayatkan hadis yang sanadnya dihubungkan sampai kepada Khalid bin Ma'dan, di mana ia berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Ceritakanlah kepadaku suatu hadis yang kamu dengar langsung dari Rasulullah Saw. yang kemudian kamu hapal dan kamu sebutkan setiap hari sejak kamu mendengamya dari beliau." Kemudian Mu'adz menangis, sampai-sampai saya mengira Ia tidak akan diam. Akan tetapi tidak lama kemudian, ia diam dan berkata, "Sewaktu saya perada dalam satu kendaraan dengan Rasulullah Saw ., beliau bersabda
"Segala puji bagi Allah yang telah menentukan keadaan makhluk-Nya
sesuai dengan apa yang Dia inginkan. Kemudian beliau bersabda, ”Wahai Mu'adz.” Saya menjawab,
”Saya, ya Rasululloh, imam kebaikan dan nabi pembawa Ramat.
”Beliau lalu bersabda, “Aku akan menceritakan kepadamu
suatu pembicaraan yang belum pernah diceritakan oleh seorang nabi pun
kepada umatnya, yang jika kamu jaga (ingat), niscaya akan bermanfaat
bagimu, dan jika kamu dengar tetapi kamu tidak menjaganya, maka hujjah-mu di hadapan Alloh nanti pada hari kiamat akan terputus.”
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, ”Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan
tujuh malaikat sebelum menciptakan langit dan bumi, di mana setiap langit ada satu malaikat dan setiap pintu ada satu penjaga pintu dari kalangan malaikat. Malaikat hafazhah Selalu mencatat amal seseorang sejak pagi hingga sore, lalu membawa naik dengan bercahaya seperti cahaya matahari hingga sampai ke langit dunia. Amal itu dikiranya bersih banyak, akan tetapi kemudian malaikat penjaga langit dunia itu berkata, ”Berhenti1ah, dan lemparkan amal ini ke muka orang yang memilikinya,
serta katakan kepadanya ”Allah tidak mengampuni kamu.” Aku adalah
orang yang mengurusi ghibah (menggunjing), ia suka menggunjing kaum
muslimin, maka aku tidak membiarkan amalannya melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”
Malaikat hafazhah yang lain membawa naik
amal seeorang yang bercahaya terang hingga sampai ke langit kedua.
Malaikat penjaga langit kedua ini berkata, ”Berhentilah dan lemparkanlah
amal ini ke muka orang yang memilikinya, serta katakan kepadanya,
”Allah tidak mengampuni kamu”, karena ia beramal untuk kemewahan
dunia. Aku adalah yang mengurusi amal dunia, tidak akan membiarkan
amalnya melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.
Malaikat hafazhah yang lain membawa naik amal seseorang yang berkilauan
karena banyaknya sedekah dan salat, sehingga malaikat hafazhah sendiri
kagum, sampai ke langit ketiga. Malaikat penjaga langit ketiga berkata,
”Berhentilah dan lemparkan amal ini ke muka orang yang memilikinya,
serta katakan kepadanya, ”Allah tidak mengampuni kamu.” Aku adalah
yang mengurusi masaIah kesombongan. Barangsiapa yang beramal dan
bersikap sombong terhadap manusia di majelis-majelis mereka, maka
Tuhanku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal itu melewati
aku untuk dibawa kepada yang lain.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang sangat cemerlang seperti cemerlangnya bintang-bintang, karena penuh dengan tasbih dan puasa, sampai ke langit keempat. Kemudian malaikat penjaga langit keempat
berkata, ”BerhentiIah dan katakan kepadanya, Allah tidak mengampuni
kamu. Aku adalah orang yang mengurusi ujub (mengagumi dirinya sendiri). Sesungguhnya orang yang mengerjakan amal itu memasukkan unsur ujub ke dalamnya, maka Tuhanku memerintahkan
aku untuk tidak membiarkan amal itu melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”.
Amal itu lantas dipukulkan kepada yang memilikinya disertai
kutukan tiga hari. Malaikat hafazhah yang lain membawa amal seseorang
yang diiringi oleh malaikat bagaikan pengantin pria yang diantar ke
isterinya sampai ke langit kelima karena penuh dengan jihad dan salat di antara dua salat. Kemudian malaikat penjaga langit kelima itu berkata,
”BerhentiIah dan lemparkan amal ini kepada yang memilikinya serta pukulkanlah di antara pundaknya, karena ia dengki kepada orang yang belajar dan beramal karena Allah.
Ia dengki kepada mereka dan selalu mengganggu mereka, Lalu malaikat hafazhah itu memikulkan di atas pundaknya dan mengutuknya sepanjang hidupnya.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang dengan wudhu yang sempurna, salat malam dan salat yang banyak sampai langit keenam. Malaikat
penjaga langit keenam itu berkata, ”Berhentilah dan lemparkan amal ini
kepada yang memilikinya, Aku adalah yang mengurusi kasih sayang,
dan orang ini tidak memiliki kasih sayang sedikitpun. Bahkan apabila ada orang yang kesakitan, tergelincir dosa atau tertimpa bahaya ia malah merasa
senang. Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk tidak
membiarkan amal itu melewati aku untuk dibawa kepada yang lain”.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang penuh dengan kejujuran, kesungguhan dalam ibadah dan wara' yang cemerlang berkilau-kilauan seperti kilauan kilat hingga ke langit
yang ketujuh. Lantas malaikat penjaga langit ke tujuh itu berkata, ”Berhentilah dan lemparkan amal ini kepada yang memilikinya, serta kuncilah hatinya.” Aku adalah yang mengurusi hijab (penghalang), di
mana aku menghalangi setiap amal yang bukan karena Allah T a'ala,
karena sesungguhnya dengan amalnya itu ia menginginkan kedudukan dan disebut-sebut di majelis-majelis serta dieluk-elukkan di kota-kota. Tuhanku telah memerintahkan aku untuk tidak mebiarkan amal itu
melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang sangat cemerlang, karena penuh dengan akhlak yang terpuji, diam dan banyak zikir, diiringi oleh malaikat langit hingga sampai ke bawah arasy. Para malaikat itu kagum akan amal itu, lantas Allah berfirman, ”Kamu hanyalah pencatat amal
hamba-Ku, sedangkan Aku mengawasi hatinya. la melakukan amal ini
bukan karena Aku, tetapi karena yang lain, maka ia mendapat kutukan-Ku.” Lalu semua malaikat berkata, ”Ia mendapat kutukan-Mu dan kutukan kami.” Kemudian malaikat penghuni langit itu berkata, 'Orang itu
mendapat kutukan Allah, kutukan tujuh langit dan bumi, dan kutukan kami semua.”
Kemudian Mu'adz bin Jabal r.a. menangis dan berkata, 'Ya Rasulullah, apakah yang harus saya lakukan? Beliau bersabda, ”Ikutilah Nabimu wahai Mu' adz. Kamu harus merasa yakin meskipun di dalam amalmu itu ada kekurangan. Hentikan lidahmu dari membicarakan saudaramu, hendaknya dosa-dosamu hanya atas dirimu dan jangan melibatkan saudara-saudaramu dalam masalah dosa. Jangan merasa
dirimu bersih dengan mencela saudara-saudarmu, jangan menganggap
dirimu penting dengan merendahkan saudara-saudaramu, dan janganlah riya (memamerkan) amalmu kepada sesama manusia.”
Sahabat....Bagaimana dengan amal-amal ibadah kita....
Terkadang kita Bangga dengan Ibadan kita yang hanya sekarung padahal dibalik itu dosa kita yang bermilyaran menggunung....
Ya Alloh...Ibadah yang kami lakukan jauh dari kesempurnaan, dan kami tidak pernah tahu tentang diterima atau tidaknya ibadah kami….
Sedangkan dosa-dosa yang kami lakukan pasti tercatat oleh para Malaikat-Mu yang tidak pernah lengah dan salah.
Ya Alloh…Kami berlindung lepada-Mu dari Ibadah yang kami lakukan yang bukan karena-Mu....
Astagfirullohaladzim..... Astagfirullohaladzim..... Astagfirullohaladzim.....
"Segala puji bagi Allah yang telah menentukan keadaan makhluk-Nya
sesuai dengan apa yang Dia inginkan. Kemudian beliau bersabda, ”Wahai Mu'adz.” Saya menjawab,
”Saya, ya Rasululloh, imam kebaikan dan nabi pembawa Ramat.
”Beliau lalu bersabda, “Aku akan menceritakan kepadamu
suatu pembicaraan yang belum pernah diceritakan oleh seorang nabi pun
kepada umatnya, yang jika kamu jaga (ingat), niscaya akan bermanfaat
bagimu, dan jika kamu dengar tetapi kamu tidak menjaganya, maka hujjah-mu di hadapan Alloh nanti pada hari kiamat akan terputus.”
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, ”Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan
tujuh malaikat sebelum menciptakan langit dan bumi, di mana setiap langit ada satu malaikat dan setiap pintu ada satu penjaga pintu dari kalangan malaikat. Malaikat hafazhah Selalu mencatat amal seseorang sejak pagi hingga sore, lalu membawa naik dengan bercahaya seperti cahaya matahari hingga sampai ke langit dunia. Amal itu dikiranya bersih banyak, akan tetapi kemudian malaikat penjaga langit dunia itu berkata, ”Berhenti1ah, dan lemparkan amal ini ke muka orang yang memilikinya,
serta katakan kepadanya ”Allah tidak mengampuni kamu.” Aku adalah
orang yang mengurusi ghibah (menggunjing), ia suka menggunjing kaum
muslimin, maka aku tidak membiarkan amalannya melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”
Malaikat hafazhah yang lain membawa naik
amal seeorang yang bercahaya terang hingga sampai ke langit kedua.
Malaikat penjaga langit kedua ini berkata, ”Berhentilah dan lemparkanlah
amal ini ke muka orang yang memilikinya, serta katakan kepadanya,
”Allah tidak mengampuni kamu”, karena ia beramal untuk kemewahan
dunia. Aku adalah yang mengurusi amal dunia, tidak akan membiarkan
amalnya melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.
Malaikat hafazhah yang lain membawa naik amal seseorang yang berkilauan
karena banyaknya sedekah dan salat, sehingga malaikat hafazhah sendiri
kagum, sampai ke langit ketiga. Malaikat penjaga langit ketiga berkata,
”Berhentilah dan lemparkan amal ini ke muka orang yang memilikinya,
serta katakan kepadanya, ”Allah tidak mengampuni kamu.” Aku adalah
yang mengurusi masaIah kesombongan. Barangsiapa yang beramal dan
bersikap sombong terhadap manusia di majelis-majelis mereka, maka
Tuhanku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal itu melewati
aku untuk dibawa kepada yang lain.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang sangat cemerlang seperti cemerlangnya bintang-bintang, karena penuh dengan tasbih dan puasa, sampai ke langit keempat. Kemudian malaikat penjaga langit keempat
berkata, ”BerhentiIah dan katakan kepadanya, Allah tidak mengampuni
kamu. Aku adalah orang yang mengurusi ujub (mengagumi dirinya sendiri). Sesungguhnya orang yang mengerjakan amal itu memasukkan unsur ujub ke dalamnya, maka Tuhanku memerintahkan
aku untuk tidak membiarkan amal itu melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”.
Amal itu lantas dipukulkan kepada yang memilikinya disertai
kutukan tiga hari. Malaikat hafazhah yang lain membawa amal seseorang
yang diiringi oleh malaikat bagaikan pengantin pria yang diantar ke
isterinya sampai ke langit kelima karena penuh dengan jihad dan salat di antara dua salat. Kemudian malaikat penjaga langit kelima itu berkata,
”BerhentiIah dan lemparkan amal ini kepada yang memilikinya serta pukulkanlah di antara pundaknya, karena ia dengki kepada orang yang belajar dan beramal karena Allah.
Ia dengki kepada mereka dan selalu mengganggu mereka, Lalu malaikat hafazhah itu memikulkan di atas pundaknya dan mengutuknya sepanjang hidupnya.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang dengan wudhu yang sempurna, salat malam dan salat yang banyak sampai langit keenam. Malaikat
penjaga langit keenam itu berkata, ”Berhentilah dan lemparkan amal ini
kepada yang memilikinya, Aku adalah yang mengurusi kasih sayang,
dan orang ini tidak memiliki kasih sayang sedikitpun. Bahkan apabila ada orang yang kesakitan, tergelincir dosa atau tertimpa bahaya ia malah merasa
senang. Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk tidak
membiarkan amal itu melewati aku untuk dibawa kepada yang lain”.
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang penuh dengan kejujuran, kesungguhan dalam ibadah dan wara' yang cemerlang berkilau-kilauan seperti kilauan kilat hingga ke langit
yang ketujuh. Lantas malaikat penjaga langit ke tujuh itu berkata, ”Berhentilah dan lemparkan amal ini kepada yang memilikinya, serta kuncilah hatinya.” Aku adalah yang mengurusi hijab (penghalang), di
mana aku menghalangi setiap amal yang bukan karena Allah T a'ala,
karena sesungguhnya dengan amalnya itu ia menginginkan kedudukan dan disebut-sebut di majelis-majelis serta dieluk-elukkan di kota-kota. Tuhanku telah memerintahkan aku untuk tidak mebiarkan amal itu
melewati aku untuk dibawa kepada yang lain.”
Malaikat hafazhah yang lain naik dengan membawa amal seseorang yang sangat cemerlang, karena penuh dengan akhlak yang terpuji, diam dan banyak zikir, diiringi oleh malaikat langit hingga sampai ke bawah arasy. Para malaikat itu kagum akan amal itu, lantas Allah berfirman, ”Kamu hanyalah pencatat amal
hamba-Ku, sedangkan Aku mengawasi hatinya. la melakukan amal ini
bukan karena Aku, tetapi karena yang lain, maka ia mendapat kutukan-Ku.” Lalu semua malaikat berkata, ”Ia mendapat kutukan-Mu dan kutukan kami.” Kemudian malaikat penghuni langit itu berkata, 'Orang itu
mendapat kutukan Allah, kutukan tujuh langit dan bumi, dan kutukan kami semua.”
Kemudian Mu'adz bin Jabal r.a. menangis dan berkata, 'Ya Rasulullah, apakah yang harus saya lakukan? Beliau bersabda, ”Ikutilah Nabimu wahai Mu' adz. Kamu harus merasa yakin meskipun di dalam amalmu itu ada kekurangan. Hentikan lidahmu dari membicarakan saudaramu, hendaknya dosa-dosamu hanya atas dirimu dan jangan melibatkan saudara-saudaramu dalam masalah dosa. Jangan merasa
dirimu bersih dengan mencela saudara-saudarmu, jangan menganggap
dirimu penting dengan merendahkan saudara-saudaramu, dan janganlah riya (memamerkan) amalmu kepada sesama manusia.”
Sahabat....Bagaimana dengan amal-amal ibadah kita....
Terkadang kita Bangga dengan Ibadan kita yang hanya sekarung padahal dibalik itu dosa kita yang bermilyaran menggunung....
Ya Alloh...Ibadah yang kami lakukan jauh dari kesempurnaan, dan kami tidak pernah tahu tentang diterima atau tidaknya ibadah kami….
Sedangkan dosa-dosa yang kami lakukan pasti tercatat oleh para Malaikat-Mu yang tidak pernah lengah dan salah.
Ya Alloh…Kami berlindung lepada-Mu dari Ibadah yang kami lakukan yang bukan karena-Mu....
Astagfirullohaladzim..... Astagfirullohaladzim..... Astagfirullohaladzim.....
Diatas Sajadah Cinta
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara
membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun
geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat.
Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan
ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan
Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya "Zahid" atau "Si Ahli
Zuhud", karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat
sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah
pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk
ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid
adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat
perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada
ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras.
Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada
ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur
sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium
aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams , ia menangis,
"fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…"
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan
jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang
beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang.
Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana.
Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang
gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma
yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari
riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang
terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya
sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair
cinta,
"in kuntu 'asyiqatul lail fa ka'si
musyriqun bi dhau'
wal hubb al wariq
…"
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)
***
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di
ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang
didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, "Abu Afirah, putri kita sudah
menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia
dendangkan."
"Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi
siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk
putranya, Yasir."
"Bagaimana, kau terima atau…?"
"Ya jelas langsung aku terima. Dia ' kan masih kerabat sendiri dan kita
banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu
kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan."
"Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?"
"Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir.
Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir."
"Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik."
"Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan
tobat! Yang penting dia kaya raya."
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah.
Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya
seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan
seruling.
"Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!" bisik
temannya.
"Be…benarkah?"
"Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan
kesempatan ini, Yasir!"
"Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku."
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang
penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu
menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut
dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu
ketelinga Yasir,
"Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?"
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan
menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking .
Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota . Ia
hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus
berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar
untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita
bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki
jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat
titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan
mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu
menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya
menangkap suara,
"Toloong! Toloong!!"
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia
menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
"Toloong! Toloong!!"
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya
dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan.
Kuda itu berlari kencang.
"Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!"
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu
semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia
menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan.
Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan
berkata keras,
"Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!"
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan
berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh.
Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
"Assalamu'alaiki. Kau tidak apa-apa?"
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang
bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
"Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.
Mungkin terkilir saat jatuh."
"Syukurlah kalau begitu."
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid.
Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu
perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan
tampaklah wajah cantik nan memesona,
"Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari
mana dan mau ke mana Tuan?"
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih
memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua.
Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang
sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona
oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya.
Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat
menundukkan kepalanya. "Innalillah. Astagfirullah," gemuruh hatinya.
"Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit."
"Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di
dalam masjid?"
"Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain." kata Zahid sambil membalikkan
badan. Ia lalu melangkah.
"Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan
kita belum selesai!"
"Aku mau melanjutkan perjalananku!"
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid
gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di
depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
"Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan
rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke
rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan
terima kasih aku mau menghadiahkan ini."
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
"Tidak usah."
"Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi
jalan!"
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil
menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya
melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi
sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya
bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma
hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk
matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian
terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah
kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap
wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya.
Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan
kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
"Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga
terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada
hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona
pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi,
izinkanlah aku mencintainya."
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang
ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
"Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan
datang kemari."
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu
hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di
sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam
shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di
kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura
kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung
hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa
saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura
pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu'-khusyu' -nya namun usaha itu
sia-sia.
"Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang
menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu,
hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau
ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan
suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun
cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah
langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup
matiku untuk-Mu." Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati,
cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia
paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun
cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan
azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin
kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung
hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud.
Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya.
Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
"Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia.
Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!"
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
"Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari
murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba
pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi,
hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin."
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota . Tujuannya
jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia
disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan
kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota .
Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik
tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid
mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti
dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid
menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu
terdengarlah jawaban ayah Afirah,
"Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu
Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah
menerimanya."
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa
yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia
mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis
keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti
lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan
Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia
dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu
badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis
seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari
bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah.
Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak
kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu'alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang
membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku
dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku
selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita
berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta.
Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia
berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada
orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati
berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya
seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar
sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :
Kepada Afirah,
Salamullahi'alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah
semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan
sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah 'Azza Wa
Jalla'. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah
cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa
ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.
Afirah, "Inni akhaafu in 'ashaitu Rabbi adzaaba yaumin 'adhim!" (
Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada
Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang
bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih
cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
"Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan
laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh)
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan
rizki yang mulia (yaitu surga)."
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku
akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan
rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena
kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu
hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama
Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari
dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih
pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis
di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam
ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia
menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah
SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya
benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk
surat dari Afirah :
Kepada Zahid,
Assalamu'alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya
yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir.
Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita
laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta
bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara
membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun
geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat.
Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan
ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan
Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya "Zahid" atau "Si Ahli
Zuhud", karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat
sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah
pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk
ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid
adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat
perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada
ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras.
Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada
ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur
sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium
aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams , ia menangis,
"fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…"
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan
jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang
beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang.
Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana.
Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang
gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma
yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari
riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang
terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya
sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair
cinta,
"in kuntu 'asyiqatul lail fa ka'si
musyriqun bi dhau'
wal hubb al wariq
…"
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)
***
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di
ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang
didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, "Abu Afirah, putri kita sudah
menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia
dendangkan."
"Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi
siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk
putranya, Yasir."
"Bagaimana, kau terima atau…?"
"Ya jelas langsung aku terima. Dia ' kan masih kerabat sendiri dan kita
banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu
kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan."
"Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?"
"Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir.
Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir."
"Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik."
"Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan
tobat! Yang penting dia kaya raya."
***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah.
Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya
seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan
seruling.
"Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!" bisik
temannya.
"Be…benarkah?"
"Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan
kesempatan ini, Yasir!"
"Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku."
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang
penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu
menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut
dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu
ketelinga Yasir,
"Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?"
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan
menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking .
Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota . Ia
hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus
berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar
untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita
bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki
jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat
titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan
mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu
menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya
menangkap suara,
"Toloong! Toloong!!"
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia
menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
"Toloong! Toloong!!"
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya
dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan.
Kuda itu berlari kencang.
"Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!"
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu
semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia
menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan.
Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan
berkata keras,
"Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!"
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan
berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh.
Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
"Assalamu'alaiki. Kau tidak apa-apa?"
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang
bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
"Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.
Mungkin terkilir saat jatuh."
"Syukurlah kalau begitu."
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid.
Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu
perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan
tampaklah wajah cantik nan memesona,
"Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari
mana dan mau ke mana Tuan?"
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih
memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua.
Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang
sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona
oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya.
Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat
menundukkan kepalanya. "Innalillah. Astagfirullah," gemuruh hatinya.
"Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit."
"Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di
dalam masjid?"
"Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain." kata Zahid sambil membalikkan
badan. Ia lalu melangkah.
"Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan
kita belum selesai!"
"Aku mau melanjutkan perjalananku!"
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid
gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di
depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
"Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan
rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke
rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan
terima kasih aku mau menghadiahkan ini."
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
"Tidak usah."
"Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi
jalan!"
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil
menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya
melanjutkan perjalanan.
***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi
sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya
bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma
hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk
matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian
terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah
kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap
wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya.
Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan
kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
"Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga
terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada
hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona
pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi,
izinkanlah aku mencintainya."
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang
ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
"Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan
datang kemari."
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu
hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di
sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam
shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di
kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura
kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung
hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa
saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura
pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu'-khusyu' -nya namun usaha itu
sia-sia.
"Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang
menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu,
hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau
ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan
suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun
cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah
langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup
matiku untuk-Mu." Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati,
cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia
paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun
cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan
azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin
kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung
hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud.
Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya.
Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
"Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia.
Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!"
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
"Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari
murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba
pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi,
hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin."
***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota . Tujuannya
jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia
disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan
kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota .
Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik
tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid
mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti
dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid
menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu
terdengarlah jawaban ayah Afirah,
"Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu
Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah
menerimanya."
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa
yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia
mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis
keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti
lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan
Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia
dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu
badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis
seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari
bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah.
Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak
kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu'alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang
membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku
dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku
selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita
berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta.
Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia
berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada
orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati
berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya
seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar
sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :
Kepada Afirah,
Salamullahi'alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah
semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan
sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah 'Azza Wa
Jalla'. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah
cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa
ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.
Afirah, "Inni akhaafu in 'ashaitu Rabbi adzaaba yaumin 'adhim!" (
Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada
Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang
bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih
cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
"Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan
laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh)
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan
rizki yang mulia (yaitu surga)."
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku
akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan
rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena
kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu
hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama
Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari
dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih
pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis
di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam
ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia
menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah
SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya
benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk
surat dari Afirah :
Kepada Zahid,
Assalamu'alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya
yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir.
Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita
laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
============ ========= ========= ========= ========= ========= ======
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta
bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
Langganan:
Postingan (Atom)