03 Desember 2009

Syariah Marketing

Kalo hati sama-sama enak, keuntungan jadi nomor kesekian, karena berkah yang didamba.
Seorang sales wanita mempersentasikan produk pada klien dari beberapa perusahaan. Setelah berjalan beberapa saat, sepertinya customer kurang meresponnya. Maka, sang sales mulai menerapkan jurus jitunya.
Tanpa ragu, ia–maaf–membuka kancing baju atas sambil presentasi. Begitu seterusnya, tanpa canggung, satu persatu kancingnya pun dibuka. Akhirnya, bersamaan dengan dibukanya kancing baju ketiga, produk yang ditawarkan pun ludes.
Anda seorang marketer? Tentu pernah mendengar cerita di atas. Atau, cerita lain yang berbeda 180 derajad. Cerita ini dialami oleh Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Muhammad Syakir Sula, saat menunaikan ibadah haji tahun lalu.
Saat di Madinah, ia mengunjungi percetakan al-Qur'an terbesar di dunia. Percetakan yang biasa membagikan al-Qur'an gratis ke seluruh dunia ini, merupakan wakaf Kerajaan Saudi Arabia. Di percetakan ini, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) ini, membeli beberapa al-Qur'an.
Salah satunya, al-Qur'an saku cetakan terbaru yang dihiasi kaligrafi indah. Harganya 9 riyal (1 riyal sekitar Rp 2.700). Sayang, percetakan ini hanya membolehkan pembelian maksimal 10. Karenanya, ia pun keliling toko buku mencari al-Qur'an yang sama.
Sampailah di dua toko buku yang berdekatan. Yang satu menjual 12 riyal, tapi persediannya hanya 5. Sedangkan satunya yang masih banyak persediannya, menjual 35 rial. Ia pun membeli di toko yang menawarkan harga 12 riyal tanpa menawar, karena harganya masih wajar.
Ketika ia menawar di toko yang memasang harga 35 rial, si penjual tak mau menurunkan harga. Sampai pada harga 20 rial, Arab ini tetap tak mau. Pokoknya, ia keukeuh pada harga 35 rial. Ia lantas protes. "Syekh, antum jualannya yang benar dong. Di sebelah hanya 12 riyal, masa di sini 35 riyal." Dengan santai, ia menjawab, "Naam di sebelah 12 riyal, tapi di sini 35 riyal baru halal.
Akhirnya, ia meninggalkan toko sambil berbisik pada istrinya, "Dasar pelit ni Arab." Rupanya, si penjual mengerti bahasa Indonesia. Lantas bilang, "Saya tidak bakhil, tapi saat ini saya tidak ikhlas jual 12 riyal." Sambil tersenyum, Syakir berbalik, salaman, kenalan, dan minta maaf.
Karena penasaran, CEO Batasa Tazkia Consulting (BTC) ini, dua hari kemudian mendatangi toko yang sama. Tapi, kali ini ia datang dengan sikap sok akrab, karena sudah kenalan sebelumnya. "Assalamu'alaikum syekh, kaifa haluk …," Ia mencoba basa-basi dalam bahasa Arab.
Setelah suasana menjadi akrab, ia bertanya, "Syekh, ana mau beli al-Qur'an ini 30, antum jual berapa?" Arab itu bilang, "Antum shahib ana, 10 riyal halal." Karuan saja, Syakir pun kaget. "Kemarin antum kasih 35 riyal, sekarang 10 riyal. Ana tau harga dipercetakan 9 riyal, jadi antum cuma untung 1 riyal."
Arab ini ketawa sambil memeluk dan berkata, "Akhi ana cuma perlu berkahnya. Hari ini ana jual 10 riyal tapi ikhlas. Kalo antum senang, ana dapat berkahnya. Kemarin, meski ana jual dengan untung besar, tapi ana tak ikhlas, antum pun tak ikhlas, jadi tidak berkah."
Itulah cerita yang mengemuka saat Seminar dan Peluncuran Buku Syariah Marketing yang diselenggarakan MarkPlus&Co di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (18/4). Selain Muhammad Syakir Sula, seminar ini menghadirkan Staf Ahli Kementrian BUMN Aries Mufti, Presiden MarkPlus&Co Hermawan Kertajaya, Pakar Ekonomi Syariah
Muhammad Syafii Antonio, dan praktisi bisnis syariah.
Selanjutnya, Syakir menjelaskan, cara penjualan seperti cerita pertama di atas, sama sekali tak dibenarkan. Nilai-nilai universal, apalagi agama, apapun agamanya, juga tidak membenarkannya. Karenanya, diperlukan pelurusan terhadap penyimpangan praktik
marketing. Salah satu caranya, menggunakan pendekatan syariah.
Berdasarkan konsep inilah, Syakir Sula dan Hermawan Kertajaya menyusun buku "Syariah Marketing." Dalam buku ini dipaparkan empat karakteristik syariah marketing, yakni teistis (religius), etis (beretika), realistis (fleksibel), dan humanistis (manusiawi).
Dua dari empat karakteristik ini dijelaskan Syakir sebagai berikut.
Pertama, teistis berarti marketer syariah harus membentengi diri dengan nilai-nilai spiritual, karena marketing memang "akrab" dengan riswah (suap), korupsi, kolusi, dan wanita. Untuk itu, ia harus memiliki ketahanan moral, selalu mendekatkan diri pada Allah, dan meyakini jika gerak-geriknya diawasi Sang Khalik.
Kedua, etis, artinya perilaku marketer syariah harus mengedepankan akhlak, etika, dan moral. Ia harus mampu menjemput nilai-nilai moral, agar mewarnai budaya marketing yang bermoral, beretika, manusiawi, menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Tidak menjadikan wanita sebagai obyek pemuas nafsu atau asesoris untuk
melariskan produk dan bisnis.
Apalagi, Rasul saw "melaknat penyuap dan orang yang disuap" (HR Ahmad, at-Tarmidzi dan Ibn Majah). Dalam hadist lain, Rasul mengatakan, termasuk orang yang dilaknat adalah ar-ra'isy, yakni perantara terjadinya perbuatan maksiat antara keduanya.
Pada cerita yang kedua, Syakir menilai, pedagang Arab menerapkan strategi bisnis dengan hati. Ia langsung menghujam ke jantungnya pemasaran. How to win the heart share (bagaimana memenangkan hati pelanggan). Prinsipnya berlandaskan ukhuwah Islamiyah baik pada customer dan competitor.
Sehingga, ketika hati sama-sama enak, sama-sama suka, keuntungan menjadi nomor kesekian, karena berkah yang didamba. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu," (Qs. An-Nisa 29).
Di dunia marketing, dikenal tiga medan pertempuran yang harus dimenangkan. Pertama, strategi. Di sini, aspek segmentasi, targeting, dan positioning harus lebih baik dari competitor, untuk memenangkan perang pemikiran, how to win the mind share (bagaimana menang di benak nasabah).
Kedua, taktik. Dalam bisnis harus mengenal dan memperhatikan aspek diferensiasi (keunikan) dari produk kita. Ketiga, marketing mix atau 4P (product, price, place, promotion) dan selling. Kelima aspek ini merupakan kekuatan utama untuk memenangkan persaingan di pasar. How to win the market share (bagaimana memenangkan pasar).
Pedagang Arab itu mengetahui bagaimana caranya merayu, menarik hati dan memberikan service yang langsung menyentuh hati para pembelinya. Sehingga tercipta brand dirinya yang selalu diingat pelangganya. Secara tak langsung, ia mempraktikkan marketing critical moment of truth (suatu kesan yang sangat membekas dan tak akan terlupakan).
Tak heran jika beberapa hari kemudian, Syakir mengajak beberapa kawannya yang kebetulan juga ingin membeli al-Qur'an, ke toko itu. Secara tak sadar, ia telah menjadi agen pedagang Arab itu, tanpa komisi dan sejenisnya.
Sementara itu, Hermawan Kertajaya mengatakan, secara umum pangsa pasar syariah tergabi dua, yakni pasar rasional dan emosional. Pasar rasional adalah pasar yang didasarkan pada nilai-nilai rasional, seperti tingkat profit, kualitas layanan dan produk. Pangsa pasar ini disebut pasar mengambang.
Sedangkan pasar emosional adalah pasar yang memilih bisnis berbasis syariah karena pertimbangan halal haram dan kekhawatiran terhadap riba. Tapi, persepsi ini sering dianggap salah oleh praktisi bisnis syariah. Sesungguhnya, pasar emosional ini justru yang rasional, karena mereka menghitung untung rugi di setiap hal yang mereka
lakukan.
Bukankah al-Qur'an memerintahkan, setiap manusia wajib mewujudkan kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kebahagiaan dunia. Karenanya, meski pasar emosional sangat concern terhadap nilai-nilai syariah dalam bisnis, bukan berarti mereka melupakan aspek rasional, seperti untung rugi, kenyamanan, service, dan lainnya.
Jika begitu, ngapain buka kancing baju segala?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar