06 Januari 2012

Kajian surat albaqarah 284



Assalaamu 'Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Selamat pagi anak2ku & sahabat2ku, Tadarus/Kajian Pagi kita masih tetap melanjutkan AYAT DEMI AYAT SESUAI DENGAN URUTANNYA. Pada ayat yang lalu Allah menegaskan kekuasaan-Nya di seluruh jagad raya dan bahwa apa pun yang dikerjakan manusia, baik yang nyata maupun tersembunyi, semua akan dimintakan pertanggungan jawab, dan juga Allah menegaskan keluasan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya dalam rangka membuktikan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu menyandang segala macam kesempurnaan yang layak bagi-Nya karena, pada hakikatnya, semua kesempurnaan dapat tergambar melalui kekuasaan dan pengetahuan. Sedangkan ayat lanjutan ini adalah

Pujian Allah Terhadap Orang yang Taat Kepada-Nya dan Rasul-Nya. Dari Abu Hurairah r.a.: Setelah turunnya ayat ke 284, para sahabat merasa sedih. Mereka mendatangi Rasulullah s.a.w., berlutut, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak sanggup melaksanakan ayat ini’ Rasul s.a.w. bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan seperti yang dikatakan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kalian, ‘Kami mendengar dan mengingkari?’ Namun, katakanlah, ‘Kami mendengar dan taat, ampuni kami ya Tuhan kami. Dan kepada-Mu-lah tempat kembali. Setelah para sahabat terbiasa dengan bacaan tadi, lalu turunlah ayat ini.” (HR Muslim, Ahmad, dan lainnya).

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (QS al-Baqarah 2: 285) آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۗ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ ۗ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۗ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِير

AAMANAR-ROSUULU BIMAAA UN-ZILA ILAIHI MIR-ROBBIHII WAL-MU’MINUUNA, KULLUN AAMANA BILLAAHI WA-MALAAA-IKATIHII WA-KUTUBIHII WA-RUSULIHII, LAA NUFARRIQU BAINA AHADIM-MIR-RUSULIHII, WAQOOLUU SAMI’NAA WA-ATHO’NAA GHUFROONAKA ROBBANAA WA-ILAIKAL-MASHIIRU. =

Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." “AAMANA=Telah beriman”, artinya membenarkan “ROSUULU=Rasul, yakni Muhammad “BIMAAA UN-ZILA ILAIHI=terhadap apa yang diturunkan kepadanya” “MIR-ROBBIHII=dari Tuhannya”, yakni al-Qur’an, demikian pula “WAL-MU’MINUUNA=dan orang-orang yang beriman”, ma`thuf atau dihubungkan kepada Rasul “KULLUN=semuanya”, tanwinnya menjadi pengganti bagi mudhaf ilaih, “AAMANA BILLAAHI=beriman kepada Allah”, “WA-MALAAA-IKATIHII=Malaikat-Malaikat-Nya” “WA-KUTUBIHII=dan Kitab-Kitab-Nya”, ada yang membaca secara jamak dan ada pula secara mufrad atau tunggal, “WA-RUSULIHII=serta para Rasul-Nya” kata mereka, “LAA NUFARRIQU BAINA AHADIM-MIR-RUSULIHII=kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun di antara Rasul-Rasul-Nya” dalam hal kepercayaan kami terhadap mereka sebagai utusan-utusan Allah, hingga kami beriman kepada sebagian dan kafir kepada lainnya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, WAQOOLUU SAMI’NAA=Dan mereka mengatakan, "Kami dengar", maksudnya apa yang diperintahkan kepada kami itu, disertai dengan penerimaan “WA-ATHO’NAA=dan kami taati” serta kami bermohon, “GHUFROONAKA=ampunilah kami”, “ROBBANAA=wahai Tuhan kami”, “WA-ILAIKAL-MASHIIR=dan kepada Engkaulah kami kembali”, yakni dengan adanya saat berbangkit.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mempercayai kebenaran al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan kepadanya. Demikian pula orang-orang yang beriman, mereka mempercayai dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an. Semuanya mempercayai Allah sebagai Tuhan dan Sesembahan yang memiliki semua sifat mulia dan sempurna. Semuanya mempercayai bahwa Allah mempunyai Malaikat yang mulia, bahwa Dia menurunkan kitab-kitab suci, dan mengutus para Rasul kepada makhluk-Nya. Kami, orang-orang yang beriman, tidak hanya beriman kepada mereka semua. Rasul dan orang-orang yang beriman mengatakan, “Wahai Tuhan kami, kami dengar dan taat pada apa yang Engkau wahyukan. Kami berharap Engkau mengampuni dosa-dosa kami. Engkaulah yang memelihara kami dengan nikmat-nikmat yang telah Engkau berikan. Kepada Engkaulah satu-satunya tempat kami kembali. Firman-Nya: (آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ) Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Keimanan itu sedemikian mantap setelah beliau mengalami sendiri kehadiran Malaikat Jibril membawa wahyu Ilahi, dan setelah sebelumnya beliau diberi tanda-tanda oleh Allah S.W.T. Imam Bukhari meriwayatkan melalui Sayyidah ‘Aisyah r.a. bahwa enam bulan sebelum kehadiran Jibril a.s. membawa wahyu pertama, Nabi s.a.w. diarahkan sehingga senang menyendiri di gua Hira. Beliau istilahkan pengarahan itu dengan “Hubbiba Ilaih=disenangkan kepadanya”. Boleh jadi ketika itu Nabi sendiri tidak mengetahui, siapa yang mengarahkan beliau, serupa dengan hewan-hewan tertentu yang diarahkan oleh instingnya mengungsi ke tempat aman menjelang terjadinya gempa bumi.

Disamping itu, beliau juga sering kali bermimpi di malam hari, dan terbukti kebenarannya pada keesokan harinya. Pengalaman-pengalaman itu mengantar beliau percaya—sebelum datangnya Malaikat Jibril—bahwa beliau mendapat informasi yang sangat akurat dari satu sumber yang amat tepercaya. Nah, hal-hal di atas, ditambah dengan pengamalan spiritual bersama Malaikat, disamping keistimewaan redaksi dan kandungan al-Qur’an serta pemahaman tentang pesan-pesannya, mengantar beliau percaya sepenuhnya dengan apa yang diturunkan kepada beliau. Sedemikian kuat kepercayaan itu sampai-sampai “Kalau matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku sebagai imbalan meninggalkan tugas menyampaikan ajaran, aku tidak akan meninggalkannya sampai aku berhasil atau mati dalam memperjuangkannya.” Demikian lebih kurang sabda Rasul s.a.w. melukiskan betapa kukuh kepercayaaan beliau. Kualitas iman dan kepercayaan Rasul itu sungguh berbeda dengan kualitas iman dan kepercayaan para sahabat Nabi dan orang-orang beriman sesudah mereka. Bukankah pengamalan ruhani dan pemahaman mereka jauh berbeda?

Karena itu, pernyataan tentang keimanan mereka dalam penggalan awal ayat ini dipisahkan dengan pernyataan keimanan Nabi, “Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang mukmin”. Harus diakui bahwa, walau kualitasnya berbeda dengan iman Rasul, keimanan mereka pun cukup mantap sebagaimana dipahami dari penggunaan kata al-mu’minûn dengan menggunakan alif dan lam (al) yang mengandung kesempurnaan serta bentuk kata yang menunjukkan makna kemantapan, yakni mu’minûn bukan kata kerja, yakni orang yang beriman. Tentu kita dapat membedakan antara kata penulis dan yang menulis, penyanyi dan yang menyanyi. Kata penulis dan penyanyi memberi kesan kemantapan dan keahlian, tetapi tidak demikian dengan yang menulis atau yang menyanyi. Kita semua bisa menyanyi, tetapi tidak semua kita penyanyi.

Sekali lagi, walau berbeda kualitas iman Rasul dengan orang-orang mukmin itu, karena objek keimanan Rasul dan kaum mukminin itu sama, penggalan berikut mempersamakannya sekaligus mengisyaratkan bahwa keimanan orang-orang mukmin itu bersumber dari Rasul s.a.w. Semuanya, yakni Nabi Muhammad s.a.w. dan orang-orang mukmin, beriman kepada Allah, bahwa Dia Wujud dan Maha Esa, Maha Kuasa. Tiada sekutu bagi-Nya; Dia Menyandang segala sifat Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan; mereka juga percaya kepada Malaikat-Malaikat-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang taat melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepada mereka dan menjauhi seluruh larangan-Nya, demikian juga dengan kitab-kitab-Nya yang diturunkan-Nya kepada para Rasul, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an, dan juga percaya kepada Rasul-Rasul-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang diutus membimbing manusia ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya, (Mereka mengatakan),

“Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dan yang lain dari Rasul-Rasul-Nya dalam hal kepercayaan kami terhadap mereka sebagai utusan-utusan Allah, dan mereka mengatakan, “Kami dengar apa yang Engkau perintahkan, ya Allah, baik melalui wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun yang disampaikan melalui ucapan Nabi-Mu, serta taat melaksanakan perintah-perintah-Mu dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Setelah pernyataan itu, dan dengan penuh kesadaran serta rendah hati sebagaimana layaknya orang-orang yang taat, mereka berucap, “Kami mohon ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, dan hanya kepada Engkau, tidak kepada selain Engkau, tempat kembali, baik kami yang bermohon maupun selain kami”.

Di atas, terbaca bahwa mereka memohon ampunan-Nya, mereka tidak berkata, “Kami memohon ampun,” tetapi ampunan-Mu, yakni yang sesuai dengan keagungan dan kemurahan serta keluasan ampunan-Mu, bukan sesuai keadaan kami yang serba kurang. Wahai Tuhan kami, kami mendengar firman-Mu dan taat kepada perintah-Mu, Apabila setelah berusaha namun masih tetap ada kekurangan maka kami memohon ampunan-Mu, agar Engkau menghapuskan dosa kami, dan memaafkan kesalahan kami. Sebab, kami adalah hamba yang memiliki sifat suka bersalah. Kami tidak memiliki Tuhan selain Engkau dan tidak ada yang kami sembah selain Engkau. Engkau pasti akan mengumpulkan kami pada hari Kiamat yang tidak mengandung keraguan dan tidak ada tempat untuk meloloskan diri darinya. Tidak ada pengaduan kecuali kepada-Mu”. Aamiin Ya Rabbal 'Aalamiin.. SeMoGa BeRmAnFaAt... SeLaMaT bErAkTiFiTaS.... ^__^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar