06 Januari 2012

Tafsir Albaqarah 282



Assalaamu 'Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Selamat pagi anak2ku & sahabat2ku, Tadarus/Kajian Pagi kita masih tetap melanjutkan AYAT DEMI AYAT SESUAI DENGAN URUTANNYA. Setelah memperingatkan kita untuk memelihara diri dari azab, dan apa saja yang kita lakukan di dunia ini semua akan mendapat ganjaran yang baik maupun yang buruk, maka ayat lanjutan berbicara mengenai bermuamalah yaitu berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Ayat ini adalah yang terpanjang dalam al-Qur'an

. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (QS al-Baqarah 2: 282) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۗ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِۖ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ ۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۗ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۗ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَىۗ وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۗ وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ۗ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ ۗ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“YAAA AYYUHAL-LADZIINA AAMANUU=Hai orang-orang yang beriman!” “IDZAA TADAAYANTUM=jika kamu mengadakan utang piutang”, maksudnya muamalah seperti jua beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain-lain “BIDAININ=secara tidak tunai”, misalnya pinjaman atau pesanan “ILAAA AJALIM-MUSAMMAN=untuk waktu yang ditentukan” atau diketahui, “FAKTUBUUHU=maka hendaklah kamu catat” untuk pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya. “WAL-YAKTUB=dan hendaklah ditulis” surat utang itu “BAINAKUM KAATIBUM-BIL’ADDLI=di antara kamu oleh seorang penulis dengan adil” maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang atau jumlah temponya.

“WALAA YA’BA=dan janganlah merasa enggan” atau berkeberatan “KAATIBUN=penulis itu” untuk “AY-YAKTUBA=menuliskannya” jika ia diminta, “KAMAA ‘ALLAMAHULLOOHU=sebagaimana telah diajarkan Allah kepadanya”, artinya telah diberi-Nya karunia pandai menulis, maka janganlah dia kikir menyumbangkannya. 'Kaf' di sini berkaitan dengan 'ya'ba' “FALYAKTUBB=maka hendaklah dituliskannya” sebagai penguat “WAL-YUMLILI=dan hendaklah diimlakkan” surat itu “AL-LADZII ‘ALAIHIL-HAQQU=oleh orang yang berutang” karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya agar diketahuinya kewajibannya, “WAL-YATTAQILLAAHA ROBBAHUU=dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya” dalam mengimlakkan itu “WALAA YABBKHOS MINHU=dan janganlah dikurangi darinya”, maksudnya dari utangnya itu “SYAI-AN=sedikit pun juga", "FA-IN KAANAL-LADZII ‘ALAIHIL-HAQQU SAFIIHAN=dan sekiranya orang yang berutang itu bodoh” atau boros “AW DHO’IIFAN=atau lemah keadaannya” untuk mengimlakkan disebabkan terlalu muda atau terlalu tua “AW LAA YASTATHII’U AY-YUMILLA HUWA=atau ia sendiri tidak mampu untuk mengimlakkannya” disebabkan bisu atau tidak menguasai bahasa dan sebagainya,

“FALYUMLIL WALIYYUHUU=maka hendaklah diimlakkan oleh walinya”, misalnya bapak, orang yang diberi amanat, yang mengasuh atau penerjemahnya “BIL-‘ADDLI=dengan jujur”. “WAS-TASYHIDUU=dan hendaklah persaksikan” utang itu kepada “SYAHIIDAINI MIR-RIJAALIKUM=dua orang saksi di antara laki-lakimu” artinya dua orang Islam yang telah baligh lagi merdeka “FA-ILLAM YAKUUNAA= jika keduanya mereka itu bukan”, yakni kedua saksi itu “ROJULAINI=dua orang laki-laki", "FAROJULUW-WAMRO-ATAANI=maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan” boleh menjadi saksi “MIMMAN TARDHAUNA=di antara saksi-saksi yang kamu sukai” disebabkan agama dan kejujurannya. “MINASY-SYUHADAAA-I AN TADHILLA =saksi-saksi wanita jadi berganda ialah supaya jika yang seorang lupa” akan kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemahnya ingatan mereka,

“IHDAAHUMAA FATU-DZAKKIRO IHDAAHUMAL-UKHROO=maka yang lain yang ingat akan mengingatkan kawannya”, yakni yang lupa. Ada yang membaca 'tudzkir' dan ada yang dengan tasydid 'tudzakkir'. Jumlah dari idzkar menempati kedudukan sebagai illat, artinya untuk mengingatkannya jika ia lupa atau berada di ambang kelupaan, karena itulah yang menjadi sebabnya. Menurut satu qiraat 'in' syarthiyah dengan baris di bawah, sementara 'tudzakkiru' dengan baris di depan sebagai jawabannya. “WALAA YA’BASY-SYUHADAAA-U IDZAA MAA=dan janganlah saksi-saksi itu enggan jika” 'ma' sebagai tambahan “DU’UUU=mereka dipanggil” untuk memikul dan memberikan kesaksian “WALAA TAS-AMUUU=dan janganlah kamu jemu” atau bosan

“AN TAKTUBUUHU=untuk menuliskannya”, artinya utang-utang yang kamu saksikan, karena memang banyak orang yang merasa jemu atau bosan “SHOGIIRON AW KABIIRON=biar kecil atau besar” sedikit atau banyak “ILAAA AJALIHI=sampai waktunya”, artinya sampai batas waktu membayarnya, menjadi 'hal' dari dhamir yang terdapat pada 'taktubuh', “DZAALIKUM =Demikian itu” maksudnya surat-surat tersebut “AQQSATHU ‘INDALLOOHI=lebih adil di sisi Allah" "WA-AQQWAMU LISY-SYAHAADATI=dan lebih mengokohkan persaksian”, artinya lebih menolong meluruskannya, karena adanya bukti yang mengingatkannya “WA-ADDNAAA=dan lebih dekat”, artinya lebih kecil kemungkinan “ALLAA TARTAABUUU=untuk tidak menimbulkan keraguanmu”, yakni mengenai besarnya utang atau jatuh temponya. “ILLAAA AN=kecuali jika” terjadi muamalah itu “TAKUUNA TIJAAROTAN HAADHIROTAN=berupa perdagangan tunai” menurut satu qiraat dengan baris di atas hingga menjadi khabar dari 'takuuna' sedangkan isimnya adalah kata ganti at-tijaarah “TUDIIRUUNAHAA BAINAKUM=yang kamu jalankan di antara kamu”, artinya yang kamu pegang dan tidak mempunyai waktu berjangka,

“FALAISA ‘ALAIKUM JUNAAHUN ALLAA TAKTUBUUHAA=maka tidak ada dosa lagi kamu jika kamu tidak menulisnya”, artinya barang yang diperdagangkan itu “WA ASYHIDUUU IDZAA TABAAYA’TUM=hanya persaksikanlah jika kamu berjual beli” karena demikian itu lebih dapat menghindarkan percekcokan. Maka soal ini dan yang sebelumnya merupakan soal sunnah “WALAA YUDHOOORRO KATIBUN WALAA SYAHIIDUN=dan janganlah penulis dan saksi (maksudnya yang punya utang dan yang berutang) menyulitkan atau mempersulit”, misalnya dengan mengubah surat tadi atau tak hendak menjadi saksi atau menuliskannya, begitu pula orang yang punya utang, tidak boleh membebani si penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis atau dipersaksikan. “WA-IN TAF’ALUU=dan jika kamu berbuat” apa yang dilarang itu, “FA-INNAHUU FUSUUQUN=maka sesungguhnya itu suatu kefasikan”, artinya keluar dari taat yang sekali-kali tidak layak “BIKUM, WATTAQULLOOHA=bagi kamu, dan bertakwalah kamu kepada Allah” dalam perintah dan larangan-Nya “WAYU’ALLIMUKUMULLOOHU=Allah mengajarimu” tentang kepentingan urusanmu. Lafal ini menjadi hal dari fi`il yang diperkirakan keberadaannya atau sebagai kalimat baru.

“WALLOOHU BIKULLI SYAI-IN ‘ALIIM=Dan Allah mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini mengingatkan dan menjelaskan kepada orang-orang yang beriman, apabila melakukan praktik utang-piutang, hendaknya melakukan pencatatan mengenai waktu dan jumlah utang-piutang dengan cara yang baik lagi adil; tidak melakukan manipulasi atau menzhalimi yang lain; hendaknya disaksikan oleh dua saksi laki-laki yang mumpuni, dan jika tidak terdapat dua orang saksi dari laki-laki, dibolehkan satu laki-laki dengan dua perempuan. Hal itu agar bila salah satu lupa dan lengah, yang lainnya dapat mengingatkan; agar tidak lalai untuk mencatat semua jenis utang-piutang, baik yang besar maupun yang kecil Sementara, untuk praktik jual-beli secara langsung, tidak dianjurkan untuk dilakukan pencatatan, tetapi persaksian tetap diperlukan. Hendaklah saksi ataupun pencatat tidak mendapat perlakuan yang menyulitkan mereka dalam melakukan tugasnya masing-masing.

Inilah ayat yang terpanjang dalam Al-Qur’an, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat Al-Mudâyanah (ayat utang-piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran—atau menurut sebagian ulama—kewajiban menulis utang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang di percaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang, walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bershadaqah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menshadaqahkan sebagian atau semua utang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang-piutang setelah anjuran dan larangan di atas mengandung makna tersendiri. Anjuran bershadaqah dan melakukan infaq di jalan Allah merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan Al-Qur’an sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh shadaqah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.

Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bershadaqah dapat menimbulkan kesan bahwa Al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang yang memliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang-piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemkian terperinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan utang-piutang. Disisi lain, ayat sebelum ayat ini adalah nasihat Ilahi kepada yang memiliki piutang untuk tidak menagih siapa yang sedang dalam kesulitan, nasihat itu dilanjutkan oleh ayat ini, kepada yang melakukan transaksi utang-piutang, yakni bahwa demi memelihara harta serta mencegah kesalahpahaman, utang-piutang, hendaknya ditulis walau jumlahnya kecil, di samping nasihat serta tuntunan lain yang berkaitan dengan utang-piutang. Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah S.W.T. kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya. Kata (تَدَايَنْتُمْ) tadâyantum, yang di atas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain, Kata ini memiliki bayak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh juru-huruf kata dain itu (yakni dâl, ya’, dan nûn) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Kata ini antara lain berkaitan utang, pembalasan, ketaatan, dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang.

Penggalan ayat-ayat ini menasihati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan; bukan dengan berkata, ‘Kalau saya ada uang,” atau “Kalau si A datang,” karena ucapan semacam ini tidak pasti, rencana kedatangan si A pun dapat ditunda atau tertunda. Bahkan, anak kalimat ayat ini bukan hanya mengandung isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan bahwa, ketika berutang seharusnya, sudah harus tergambar dalam benak pengutang bagaimana serta dari sumber mana pembayarannya diandalkan. Ini secara tidak langsung mengantar sang muslim untuk berhati-hati dalam berutang. Sedemikian keras tuntutan kehati-hatian sampai-sampai Nabi s.a.w. enggan menshalati mayat yang berutang tanpa ada yang menjamin utangnya (HR Abu Dayud dan an-Nasa’i), bahkan beliau bersabda, “Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali utang” (HR Muslim dari ‘Amr Ibn al-‘Ash). Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, Karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “Utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari.” Demikian sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam. Seorang yang tidak resah karena memiliki utang atau tidak merasa risih karenanya, dia bukan seorang yang menghayati tuntunan agama. Salah satu doa Rasul s.a.w. yang artinya: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari utang yang memberatkan serta penekanan manusia terhadapku”. Di sisi lain beliau bersabda, “Penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR Bukhari dan Muslim)

 Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga terbaca pada ayat berikut, Memang, sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata idzâ=apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Allah memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang. Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak sampai batas waktu pembayarannya. Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya. Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah berpesan pada lanjutan ayat di atas: dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan: “Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu lainnya akan mengingatkannya. Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah s.a.w. pertama kali datang ke Madinah, beliau menyaksikan kebiasaan penduduk Madinah yang menyewakan lahan kebun mereka kepada sesama mereka dengan jangka waktu satu hingga tiga bulan. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Siapa saja yang menyewakan sesuatu kepada yang lain, hendaklah dengan harga tertentu dan jangka waktu yang disepakati untuk ditentukan pula.” Berkaitan dengan ini, Allah menurunkan ayat ini sebagai ajaran bagi kaum muslimin agar tidak terjebak kedalam persengketaan. (HR Bukhari dari Ibnu Abbas). Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam bentuk utang-piutang, Tetapi, jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau utang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu, Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berutang dan pemberi utang. Penggalan ayat berikut yang menyatakan (وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيد) dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memeroleh rezeki.

Karena itu, tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya administrasi sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.” Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah S.W.T. Atau, dengan kata lain, kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya. Ayat ini diakhiri dengan firmann-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin.

Dari sini, peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. Demikian kata al-Biqa’i (ulama pakar tafsir). Dalam hal muamalah, Islam telah memberikan jawaban melalui system ekonomi syariah secara jelas dan aplikatif, karena pada hakikatnya system ekonomi syariah bukanlah merupakan teori baru, tapi system ini telah ada sejak Islam ini ada, dengan landasan teori dan contoh aplikasinya langsung dari Rasulullah s.a.w. Kemudian para pemikir Islam masa lalu pun telah mampu melahirkan teori-teori ekonomi secara sistematis sehingga tidak sedikit hasil karya ilmuwan muslim di bidang ekonomi tersebut yang diterjemahkan kedalam bahasa barat, diantaranya karya Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, Ibnu Rusd, Ar-Razi, dan lain-lain. Bahkan tokoh ekonom barat yang juga disebut-sebut sebagai bapak ekonomi dunia, yaitu Adam Smith (1776 M), pun dalam bukunya tentang teori ekonomi The Wealth of Nation juga terinspirasi oleh teori ekonominya Abu Ubaidah tentang Al-Amwal (838 M) terbukti ia banyak memberikan ilustrasi tentang teorinya yang berkaitan dengan peradaban manusia, dimana menurutnya manusia yang terbelakang peradabannya melakukan aktifitas untuk pemenuhan kebutuhannya hanya dengan berburu atau ladang berpindah. Sementara dalam masyarakat modern dengan berdagang.

Argumen ini sama seperti yang dikemukakan Abu Ubaidah yang mengambil contoh dari bangsa Arab kala itu yang sudah maju dalam hal perdagangan. Adam Smith pun dalam penjelasannya tidak ragu-ragu menyebut era Nabi Muhammad s.a.w. dan Khulafaurrasyidin sebagai era kemajuan dalam perdagangan bangsa Arab dengan istilah Mohammed and His Immediate Successors. Etika Bermuamalah: Dalam hal muamalah ini, Imam Hasan Al-Bashri r.a. memberikan nasihat tentang etika bermuamalah. Beliau berkata, “Husnul Huluq terbangun atas tiga pilar: 1. Kaffu adza’ (Tidak mengganggu). 2. Badzlun nada’ (menyodorkan batuan). 3. Talaqatul wajhi (wajah yang berseri-seri). Dalam bermuamalah, tiga pilar ini harus dipenuhi. Jangan mengganggu sesama, berikan bantuan kepadanya, dan tersenyumlah untuknya, niscaya akan dirasakan manisnya ukhuwah dalam hati kita.” Semoga bermanfaat dan selamat beraktivitas... Have a nice day...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar