Oleh Asma Nadia
Saya tidak tahu ke mana tepatnya sepucuk surat ini harus saya kirim agar benar-benar sampai tak hanya di tangan, tetapi juga hatimu.
Ketika kecil, ada banyak kecemburuan saya sebab Allah memberimu kegesitan, ketajaman logika, kekuatan, dan banyak kelebihan lain. Tetapi, lambat laun saya mengerti tak perlu cemburu sebab bukankah semua kelebihan itu akan kau gunakan untuk melindungi mereka yang lebih lemah, para perempuan seperti saya, juga anak-anak?
Tetapi, kenyataan di depan mata kemudian terasa menyesakkan. Beberapa istri menangis di hadapan saya, bercerita betapa mereka terkena pukulan dan tendanganmu, juga sasaran kalimat yang melecehkan. Rangkaian kata yang tak pernah saya harapkan terucap dari seorang pemimpin keluarga.
Kisah-kisah lain menghampiri saya. Seorang istri yang tak hanya teraniaya lahir batin, tapi kemudian juga menjadi pihak yang diadukan sang suami ke kepolisian. Kejadian yang membuat saya merenung. Bagaimana bisa seorang suami mengadukan ibu dari anak-anaknya, tanpa kesalahan yang jelas, ke polisi? Bukankah ketiadaan sang ibu apalagi jika kemudian harus berada di balik jeruji, merupakan kehilangan besar bagi anak-anaknya?
Tak hanya para istri, beberapa remaja mengirimkan email kepada saya. Salah seorang di antaranya bercerita, “Ketika lima anaknya lahir tak sekali pun bapak berada di sisi ibu. Hari-hari bapak dipenuhi kesibukan bersama perempuan lain. Sekalinya pulang, yang dilakukan bapak hanyalah memukuli ibu. Saya dan adik-adik membenci dan sampai kapan pun tak akan pernah memaafkan bapak!“
Ah, terlalu banyak luka. Tidakkah kau mengerti? Sedih dan kecewa seorang istri mungkin bisa disamarkan waktu sebab usia dan kedewasaan. Tetapi, luka yang kau goreskan ke dalam jiwa anak-anak akan abadi. Pada masanya, luka itu bisa menjelma pisau yang berbalik arah, ketika tubuhmu melemah, saat mereka justru semakin kuat.
Jika pada saat itu muncul begitu banyak kesempatan untuk berperan sebagai ayah, dan meluruskan langkah mereka dari melakukan kesalahan fatal, jangan kaget jika mereka tak mau mendengar sebab potret buruk yang kau tanamkan sejak mereka kecil.
Untuk jiwa-jiwa yang sedang tumbuh itu, saya mohon agar tak ada lagi luka yang kau ukir atas nama kekuatan. Sayang harapan itu diuapkan waktu. Kemarahan saya kembali terusik. Seorang pedagang sayur diperkosa pagi-pagi buta di dalam angkot. Selang sebulan berita lain muncul. Mahasiswi kebidanan diperkosa lima lelaki di dalam kendaraan umum.
Ke mana perginya lelaki yang seharusnya melindungi? Laki-laki yang seharusnya menggunakan kekuatannya untuk meringankan mereka yang lemah, yang pada bidang dada mereka, perempuan menyandarkan resah dan persoalan? Sosok kuat yang seharusnya bangga jika bisa menyelamatkan orang lain, termasuk dari nafsu mereka dan bukan sebaliknya. “Semua bersumber pada cara mendidik anak lelaki yang salah!“ ujar seorang sahabat berapi-api.
Sekitar 17 tahun menikah, alhamdulillah saya termasuk yang menerima kebaikan didikan ayah dan ibu mertua terhadap anaknya. Juga beberapa sahabat yang mengarungi pernikahan puluhan tahun dalam kebahagiaan. Setitik optimistis menelusup di hati. Tak semua lelaki sepertimu. Masih banyak yang baik. Menatap putra saya, kekhawatiran itu muncul, meski kemudian saya kalahkan dengan doa. Mudah-mudahan ia tumbuh menjadi lelaki sejati, memenuhi takdir sebagai pemimpin, yang mengayomi dan melindungi.
Dan, untuk semua perempuan yang menjadi korban, semoga hukum tegak saat lelaki di sekitar mereka melakukan kezaliman atas kelemahan perempuan. Meski para lelaki itu juga memiliki ibu, adik, kakak, atau istri dan anak yang tentu ingin mereka lindungi agar tak ternoda.
Jatuhkan hukuman seberat-beratnya bagi pemerkosa agar mereka jera. Agar nafsu tak mudah tergelincir sebab ada dinding kokoh yang tak hanya membatasi, juga berfungsi. Agar tenang anak-anak dan remaja putri kita menuntut ilmu. Agar para perempuan yang terpaksa menembus kegelapan dini hari demi memberi nafkah halal bagi keluarga tak diliputi kecemasan. Begitulah surat ini saya tulis.[]
*REPUBLIKA (25/2/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar